Bagaimana mempersiapkan kematian?

Katakan pada diri sendiri di pagi hari: Hari ini aku akan mati, setiap hari. Di sini, bersiap-siap. Jangan membuat hutang, siapkan dana untuk pemakaman. Lakukan ritual keagamaan persiapan kematian lebih sering.

Nah, baik meludahi persiapan ini dan hidup sepenuhnya, dan jika tiba-tiba ... maka akan ada kejutan.

Tidak perlu mempersiapkannya - sama saja, kemungkinan besar, itu akan datang secara tidak terduga (dan ini bahkan mungkin lebih baik daripada ketika Anda memiliki beberapa menit / detik tersisa untuk menyadari bahwa ini dia - sekarang Anda akan mati ), tetapi Anda dapat hidup sedemikian rupa sehingga pada setiap saat dalam hidup Anda, jika kematian tiba-tiba datang, Anda memahami bahwa Anda bahagia dan tidak menyesali apa pun. Bagaimanapun, kita tidak dapat melakukan segalanya, dan kematian tidak dapat dihindari. Jadi mengapa repot-repot dengan masalah jika itu tidak bisa dipecahkan? Pikiran-pikiran ini hanya membuang-buang waktu Anda, yang sudah tak ternilai harganya, karena tidak diketahui berapa banyak lagi yang tersisa. Anda hanya perlu mencoba untuk hidup setiap menit dengan kesadaran akan kebahagiaan. Maksud saya bukan kesenangan tanpa akhir, tonjolan, tinggi, dan sebagainya. Saya berbicara tentang perasaan itu ketika Anda menyadari bahwa Anda puas dengan hidup Anda dan bahagia dengan apa yang Anda miliki. Ketika Anda tidak terus-menerus disibukkan dengan mengejar sesuatu yang lebih baik, tetapi hanya bergerak maju dengan tenang, menikmati setiap hari. Ketika Anda memiliki kedamaian dan harmoni dalam jiwa Anda. Secara pribadi, saya ingin mati bahagia.

Tidur adalah persiapan untuk kematian, karena merupakan keadaan tubuh yang tidak sadar, sama seperti pada saat kematian!

Pertanyaan yang sangat bagus, dan yang paling penting, relevan. Jika Anda seorang Kristen, maka Anda harus tahu bahwa hidup diberikan kepada kita, hanya untuk mempersiapkan apa yang ada setelah kematian, yaitu untuk kekekalan. Karena tidak diberikan kepada kita untuk mengetahui kapan kita akan mati, kita harus selalu siap. Apa yang dibutuhkan untuk ini? - Cintailah Tuhan, dan jangan lakukan pada orang lain apa yang kamu sendiri tidak inginkan.

Mengapa berbicara tentang kematian? Bagaimanapun, hidup ini sangat indah! Dengan keberhasilan dan kegagalannya. Dengan tikungan tajam. Tapi kematian juga merupakan perubahan tajam dalam hidup. Dan tidak peduli bagaimana Anda mempersiapkan giliran seperti itu, Anda tidak akan pernah siap.

• 1. Tulis surat wasiat.
  2. Sisihkan di bank jumlah yang cukup untuk mengatur pemakaman.
  3. Tulis catatan yang menunjukkan nama lengkap, tanggal lahir, tempat tinggal, rincian kontak kerabat terdekat dan bawalah sepanjang waktu, lebih baik - dalam beberapa salinan, disembunyikan di saku yang berbeda, untuk memudahkan identifikasi mayat dalam kasus, misalnya, itu dioleskan dengan kereta api.
  4. Dengan kerabat yang paling mencurigakan, lebih baik memutuskan kontak terlebih dahulu agar kematian Anda tidak menyebabkan mereka terluka berlebihan.
  5. Lunasi semua hutang dan lanjutkan untuk tidak meminjam atau mengambil apa pun secara kredit.
  6. Untuk mengambil dari debitur segala sesuatu yang Anda berutang - ini akan menyelamatkan ahli waris dari kemungkinan masalah hukum. Mulai sekarang, jangan meminjamkan apa pun kepada siapa pun.

  Ya, itu saja, sebenarnya. Persiapan untuk melintasi Styx telah berhasil diselesaikan. Tapi seluruh hidupmu setelah itu akan berubah menjadi kehidupan seorang tahanan, menunggu di selnya untuk eksekusi hukuman matinya. Apakah Anda membutuhkannya? Jika perlu, maju dan dengan lagu. Benar, sebelum itu (jangan tersinggung) pergilah ke psikiater: lagi pula, normal bagi seseorang untuk lebih sering memikirkan kehidupan. Harapan kematian per jam sudah menjadi masalah.

mengambil kursus Buddhis tentang praktik Phowa yang sekarat secara sadar, maka Anda akan secara otomatis terlahir kembali di Tanah Suci Buddha Amitaba di luar Samsara, bahkan jika kematian mengejutkan Anda

Kematian adalah bagian integral dari kehidupan. Hal yang menarik adalah bahwa bersiap-siap untuknya, atau tidak bersiap-siap, dia akan datang, kadang-kadang bahkan tanpa peringatan. Jika Anda takut akan hal itu dan tidak memasukkannya ke dalam kepala Anda, ya sudahlah. Namun, saya pribadi menyukai orang yang berpikir tentang kematian dan mempersiapkannya. Mempersiapkan kematian adalah bagian dari jalan spiritual hampir setiap agama. Sebagai contoh, di kalangan umat Islam, seseorang yang berhaji wajib mengenakan sorban di kepalanya, yaitu kain kafan, artinya ia siap mati kapan saja dan kain kafan itu selalu bersamanya. Dianggap sebagai bagian dari kode samurai bahwa jika dia dihadapkan pada pilihan hidup atau mati, maka dia memilih untuk mati. George Harrison pernah bertanya kepada Dalai Lama: Bagaimana Anda tahu apakah meditasi itu baik? “Saya akan mati dan mencari tahu,” jawab Dalai Lama. Tapi jangan terlalu repot-repot di jalan spiritual. Pikiran tentang kematian, terbebas dari histeria dan ketakutan (mengapa takut akan hal yang tak terelakkan?) akan membuat seseorang berhutang sesedikit mungkin, menghargai setiap saat dari kehidupan yang dilepaskan, jangan menunda apa pun untuk nanti, jangan melukai diri sendiri atau orang-orang yang dekat dengan Anda sia-sia dengan kata atau perbuatan, memiliki waktu untuk menyelesaikan bisnis dan komunikasi sampai akhir. Untuk mengucapkan selamat tinggal setiap saat untuk selalu dan bertemu dengan rasa syukur atas kesempatan yang diberikan untuk bertemu lagi. Bagi saya, ini bukanlah kebiasaan buruk yang membuat seseorang menjadi bijaksana, bijaksana, dan bertanggung jawab.

Pertama-tama, tidak peduli apa agama seseorang, perlu untuk memulai pertobatan. Seperti yang dikatakan Sultan Suleiman dari Zaman Agung - pintu lain bisa terbuka atau tertutup - pintu taubat selalu terbuka .

Untuk melakukan ini, Anda perlu hati-hati, jika mungkin, memantau reaksi Anda terhadap apa yang terjadi di siang hari, tindakan dan pikiran Anda. Di malam hari, Anda perlu menganalisis semuanya secara mental dan bertobat, jika perlu.

tetap puasa; yang membantu untuk melihat ketidaksempurnaan Anda dan memahami alasannya. Inilah alasan mengapa Anda perlu bertobat dan meminta Tuhan untuk menghapus ini dari hidup Anda.

Boleh banyak menulis, tapi intinya begini - rendah hati, pantang menyerah dan berharap pada Tuhan - inilah yang bisa mempersiapkan kita untuk bertemu dengan Sang Pencipta.

Saya akan memberikan contoh seperti itu - selama Perang Dunia Kedua di Vyretsk, bahwa Seraphim Vyretsky yang lebih tua tinggal di dekat Leningrad, omong-omong, yang mengulangi prestasi St. Seraphim dari Sarov - dia berdoa untuk kemenangan kita di atas batu selama 1000 malam . Mereka menyeretnya ke batu ini sehingga dia sakit, dan dengan Rahmat Tuhan dia berdiri di atas batu dengan kakinya yang sakit sepanjang malam dan berdoa. Jadi seorang wanita muda datang kepadanya dan berkata dengan air mata, mereka berkata, ayah, berdoalah agar suami saya setidaknya menjadi beberapa, bahkan tanpa lengan, tanpa kaki, tetapi jika saja dia akan datang dari perang hidup-hidup! Yang mana Pastor Seraphim dengan tegas memerintahkannya untuk tidak berdoa seperti itu, dengan mengatakan - Apa kamu? Tuhan akan memenuhi permintaan Anda dan mengembalikan suami Anda tanpa tangan dan kaki! Mintalah Tuhan untuk kembali dengan selamat!

Ini berarti Anda perlu berdoa untuk kesehatan mental dan fisik Anda! Dan jika Anda sakit - berdoalah agar Tuhan mengampuni dosa-dosa Anda dan memperpanjang hari-hari Anda.

Dan sekarang yang utama adalah bahwa seseorang matang untuk hidup selama 9 bulan dan matang untuk kematian juga selama 9 bulan, bahkan untuk kematian mendadak, oleh karena itu, orang yang penuh perhatian akan melihat pendekatan e dan dengan pertobatan dan doa Tuhan dapat mendorongnya jauh ....

Christine Longaker, seorang Amerika dengan 20 tahun pengalaman bekerja dengan sekarat, telah merumuskan empat tips untuk membantu kita mempersiapkan kematian dan pada saat yang sama membuat hidup kita penuh dan bermakna. Berikut adalah rekomendasinya:

1) Mengenali dan mengubah penderitaan

Kita harus menerima bahwa berbagai masalah, kesulitan dan pengalaman yang menyakitkan merupakan bagian integral dari kehidupan kita dan belajar bagaimana menghadapinya. Jika kita belajar untuk mengatasi penderitaan kecil yang kita hadapi di sepanjang jalan, kita akan lebih mampu mengatasi penderitaan yang lebih besar yang akan kita hadapi pada saat kematian.

Masuk akal untuk bertanya pada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut: Bagaimana saya bereaksi ketika menghadapi masalah fisik atau mental? Apakah saya menganggap reaksi saya sehat, memuaskan, atau dapat ditingkatkan? Bagaimana saya bisa belajar menangani masalah dengan lebih baik?

Dalam hal ini, dalam tradisi Tibet ada praktik mengembangkan kesabaran, memikirkan karma, mengembangkan welas asih dan tonglen (“memberi dan menerima”). Penjelasan tentang praktik ini dapat ditemukan dalam Transforming Problems into Joy oleh Lama Zopa Rinpoche (Wisdom Publications, Boston, 1993).

2) Jalin hubungan hati dengan orang lain, buat hubungan dengan mereka lebih sehat, coba selesaikan masalah lama

Nasihat ini menyangkut hubungan kita dengan orang lain, terutama anggota keluarga dan teman. Poin utama di sini adalah: belajar untuk jujur ​​dan berbelas kasih dalam interaksi kita dengan orang lain, singkirkan keegoisan, dan coba selesaikan masalah lama yang kita miliki dalam hubungan dengan orang lain.

Renungkan hubungan Anda dengan keluarga, teman, rekan kerja, dll. Apakah ada masalah yang belum terselesaikan dalam hubungan Anda dengan mereka? Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya?

Tip: renungkan pengampunan, cobalah untuk menyelesaikan masalah.

3) Mempersiapkan kematian dengan latihan spiritual

Christine menulis: “Dalam tradisi agama apa pun, ditekankan bahwa untuk mempersiapkan kematian secara spiritual, perlu untuk memulai latihan spiritual setiap hari sekarang juga. Itu harus masuk begitu dalam ke dalam kesadaran Anda untuk menjadi daging dan darah Anda, reaksi refleks terhadap situasi kehidupan apa pun, termasuk pengalaman penderitaan. Daftar praktik spiritual yang direkomendasikan dari tradisi Buddhis diberikan di bawah ini.

Coba bayangkan diri Anda pada saat kematian: pikiran dan perasaan apa yang muncul di benak Anda? Apakah Anda mengetahui ide atau praktik spiritual yang akan memberi Anda kepercayaan diri dan kedamaian batin pada saat kematian? Sudahkah Anda mempelajarinya, apakah Anda sudah mulai menerapkannya?

4) Cobalah untuk menentukan apa arti hidup Anda

Banyak dari kita menjalani hidup tanpa gagasan yang jelas tentang tujuan dan makna keberadaan kita. Kurangnya kejelasan ini dapat menjadi masalah bagi kita seiring bertambahnya usia, karena kita secara bertahap kehilangan kekuatan dan menjadi lebih bergantung pada orang lain.

Oleh karena itu, sangat penting untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

Apa tujuan hidup saya? Kenapa saya disini? Apa yang penting dan apa yang tidak penting?

hidup secara moral

Pengalaman menyakitkan atau menakutkan yang kita alami saat dan setelah kematian adalah akibat dari perbuatan atau karma negatif. Untuk mencegah pengalaman ini, Anda perlu menahan diri dari tindakan negatif dan melakukan sebanyak mungkin tindakan positif. Sebagai contoh, kita dapat mencoba yang terbaik untuk menghindari sepuluh tindakan tidak bajik (membunuh, mencuri, perilaku seksual yang salah, ucapan kasar, berbohong, fitnah, gosip, keserakahan, kebencian, dan pandangan salah) dan mempraktikkan sepuluh tindakan bermoral (menahan diri dengan penuh perhatian). dari membunuh, dll.) dan melakukan kebalikan dari sepuluh tindakan tidak bajik). Juga baik untuk mengambil sumpah atau komitmen dan melakukan praktik pembersihan setiap hari.

Aspek lain dari etika Buddhis adalah bekerja dengan pikiran Anda untuk mengurangi penyebab sebenarnya dari tindakan negatif: kekotoran batin, atau emosi kekotoran batin seperti kemarahan, keserakahan, kesombongan, dll., serta kesadaran akan kematian, yang merupakan salah satu penangkal yang paling efektif. untuk kekotoran batin. .

Untuk mengilustrasikan hal ini, saya akan memberikan sebuah contoh. Saya diberitahu sebuah cerita tentang seorang wanita yang bertengkar dengan putranya sebelum dia pergi memancing dengan ayahnya. Selama perjalanan itu, putranya meninggal. Anda dapat membayangkan rasa sakit yang dirasakan sang ibu: dia tidak hanya kehilangan putranya - kata-kata terakhir yang dia katakan kepadanya dipenuhi dengan kemarahan.

Tidak mungkin untuk memprediksi kapan kematian akan menyusul kita atau orang lain. Setiap kali kita berpisah dengan seseorang untuk waktu yang singkat, tidak ada kepastian apakah kita akan bertemu lagi. Menyadari hal ini dapat membantu kita berhenti melekat pada emosi negatif kita dan menyelesaikan masalah dalam hubungan dengan orang lain secepat mungkin. Ini akan memastikan bahwa kita meninggalkan hidup dengan hati yang ringan dan menyelamatkan diri kita dari penyesalan yang menyakitkan jika orang yang bertengkar dengan kita meninggal sebelum kita punya waktu untuk meminta maaf kepadanya dan memperbaiki masalahnya.

Juga, saat Anda mendekati kematian, akan sangat membantu untuk mulai menghadiahkan properti Anda kepada orang lain, atau setidaknya membuat surat wasiat. Ini akan membantu meringankan keterikatan dan kecemasan -Apa yang akan terjadi pada harta benda saya? Siapa yang akan mendapatkan apa? - pada saat kematian.

Pelajari teknik spiritual

Mempelajari praktik spiritual, seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha, akan membantu kita mengatasi kekotoran batin dan perilaku negatif serta menjadi lebih bijaksana dan welas asih. Selain itu, semakin dalam kita memahami realitas, atau Kebenaran (sifat hidup kita, alam semesta, karma, kemampuan kita untuk berkembang secara spiritual dan metode membangkitkan kemampuan ini), semakin sedikit kita akan takut akan kematian.

Tingkatkan latihan spiritual Anda

Pada saat kematian, kita mungkin mengalami ketidaknyamanan fisik atau rasa sakit. Selain itu, kita mungkin diganggu oleh pikiran dan emosi yang mengganggu, seperti penyesalan tentang masa lalu, ketakutan akan masa depan, kesedihan karena berpisah dengan orang yang dicintai dan kehilangan harta benda, kemarahan karena kegagalan yang menghantui kita. Seperti disebutkan di atas, sangat penting untuk menjauhkan pikiran Anda dari pikiran negatif seperti itu dan alih-alih fokus pada hal positif pada saat kematian. Contoh pikiran positif:

Fokus pada objek keyakinan: Buddha atau Tuhan;

Terimalah kematian Anda dan masalah-masalah yang menyertainya dengan tenang;

Pertahankan ketidakterikatan pada orang yang Anda cintai dan properti;

Jadilah positif tentang bagaimana kita menjalani hidup kita, mengingat hal-hal baik yang telah kita lakukan;

Untuk merasakan cinta, kebaikan dan kasih sayang terhadap orang lain.

Agar dapat membangkitkan pikiran dan perasaan seperti itu dalam diri Anda pada saat kematian, Anda perlu membiasakan diri dengannya. Tingkat pembiasaan terhadap keadaan pikiran yang positif bergantung pada seberapa banyak waktu dan seberapa banyak usaha yang telah kita curahkan untuk latihan spiritual selama hidup kita. Dan yang terbaik adalah memulainya sekarang, karena kita tidak dapat mengetahui kapan saat kematian kita akan datang.

1) Pergi untuk Perlindungan

Dalam agama Buddha, berlindung adalah percaya dan bersandar pada Tiga Permata: Buddha, Dharma, dan Sangha, dikombinasikan dengan upaya tulus untuk mempelajari dan mempraktikkan ajaran Buddha. Ajaran Buddhis mengatakan bahwa pergi berlindung pada saat kematian akan memastikan kelahiran kembali yang baik dan membantu menghindari kelahiran kembali yang tidak menguntungkan di kehidupan berikutnya. Keyakinan pada pembimbing spiritual seseorang, pada satu atau lain Buddha atau Bodhisattva, seperti Amitabha atau Kwan-Yin, akan membawa hasil yang sama dan pada saat kematian akan memberikan perasaan damai yang mendalam.

2) Praktik yang bertujuan untuk mencapai kelahiran kembali di Tanah Suci

Praktik populer, khususnya dalam tradisi Mahayana, adalah berdoa untuk kelahiran kembali di Tanah Suci, seperti Tanah Suci yang Diberkati (Sukhavati) Buddha Amitabha. Tanah suci dimanifestasikan oleh para Buddha untuk membantu mereka yang ingin melanjutkan latihan spiritual mereka di kehidupan berikutnya, membebaskan diri dari semua gangguan, kesulitan dan gangguan yang melekat di dunia biasa.

Bokar Rinpoche menyebutkan empat kondisi dasar yang harus dipenuhi agar dapat terlahir kembali di Tanah Suci Amitabha:

1. Ingat citra Tanah Suci dan renungkan;

2. Keinginan yang tulus untuk dilahirkan kembali di sana dan terus-menerus berdoa untuk kelahiran kembali seperti itu;

3. Memurnikan dari perbuatan negatif dan mengumpulkan yang positif, serta mendedikasikan jasa dari praktik ini untuk kelahiran kembali di Tanah Suci;

4. Dalam keinginan Anda untuk terlahir kembali di Tanah Suci, dibimbing oleh Bodhichitta - keinginan yang kuat untuk mencapai Pencerahan (Buddha) agar dapat membantu semua makhluk.

3) Perhatian

Perhatian penuh adalah praktik meditasi yang melibatkan kesadaran akan segala sesuatu yang terjadi pada tubuh dan pikiran kita; itu disertai dengan keseimbangan, bebas dari kemelekatan pada apa yang menyenangkan dan penolakan terhadap apa yang tidak menyenangkan. Keakraban yang mendalam dengan latihan ini memungkinkan untuk mengatasi rasa sakit dan ketidaknyamanan, menjaga pikiran dari perasaan gelisah dan tetap tenang selama kematian.

4) Cinta dan kebaikan

Praktek ini mencakup pengembangan kepedulian, partisipasi dan kebaikan terhadap orang lain. Ketika kita menghadapi kesulitan atau rasa sakit, keterikatan kita yang kuat pada diri sendiri meningkatkan penderitaan kita. Jika kita kurang fokus pada diri kita sendiri dan lebih fokus pada orang lain, kita akan mengurangi penderitaan kita. Pada saat kematian, memikirkan makhluk hidup lain dan berharap mereka bahagia dan terbebas dari penderitaan akan membawa kedamaian dalam pikiran kita. Lama Zopa Rinpoche mengatakan bahwa ini adalah pikiran dan perasaan yang paling baik dialami sebelum dan selama kematian. Mereka tidak hanya membantu kita mati dalam damai, tetapi juga memurnikan potensi negatif kita dan meningkatkan potensi positif kita, jasa kebajikan kita, yang menjamin kelahiran kembali yang baik di kehidupan berikutnya.

Untuk informasi lebih lanjut tentang cara menumbuhkan cinta dan kebaikan, lihat Sharon Salzburg Cinta kasih - Seni Revolusioner Kebahagiaan.

Pengenalan tahap-tahap kematian

Orang-orang takut mati karena mereka tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka. Tradisi Buddhis Tibet menawarkan penjelasan yang jelas dan rinci tentang proses kematian, yang mencakup delapan tahap. Delapan tahap sesuai dengan peleburan bertahap berbagai faktor seperti empat unsur: tanah, air, api dan udara. Ketika melewati delapan tahap, berbagai tanda internal dan eksternal muncul.

Dalam empat tahap pertama, pembubaran empat unsur terjadi. Pada tahap pertama, unsur tanah larut. Pada tingkat eksternal, ini dimanifestasikan dalam kenyataan bahwa tubuh menjadi lebih kurus dan lebih lemah, dan secara internal, dalam kenyataan bahwa seseorang melihat fatamorgana. Pada tahap kedua, unsur-unsur air larut, pada tingkat eksternal ini memanifestasikan dirinya dalam kenyataan bahwa cairan tubuh mengering, dan pada tingkat internal, pada kenyataan bahwa seseorang melihat asap. Pada tahap ketiga, unsur api larut. Pada tingkat eksternal, ini dimanifestasikan dalam kenyataan bahwa suhu tubuh turun, dan dengan itu kemampuan untuk mencerna makanan, dan pada tingkat internal, pada kenyataan bahwa seseorang melihat percikan api. Pada tahap keempat, elemen udara larut. Pada tingkat eksternal, ini dimanifestasikan dalam kenyataan bahwa pernapasan berhenti, dan pada tingkat internal, dalam kenyataan bahwa seseorang melihat api siap untuk pecah. Ini adalah saat ketika kematian klinis biasanya dinyatakan. Unsur-unsur fisik kasar telah larut, pernapasan telah berhenti, dan tidak ada lagi gerakan baik di otak maupun sistem peredaran darah. Namun, menurut agama Buddha, kematian belum terjadi karena pikiran atau kesadaran masih ada di dalam tubuh.

Ada berbagai tingkat kesadaran: kasar, halus dan halus. Pikiran atau kesadaran kasar mencakup enam jenis kesadaran yang terkait dengan indera (kesadaran yang terkait dengan penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, sentuhan, dan kesadaran mental) dan delapan puluh konsep naluriah. Enam kesadaran indra larut dalam empat tahap pertama kematian, dan delapan puluh konsep dalam tahap kelima, setelah itu penglihatan putih muncul. Pada tahap keenam, penglihatan putih menghilang dan penglihatan merah muncul. Pada tahap ketujuh, penglihatan merah menghilang dan penglihatan kegelapan muncul. Penglihatan putih, merah dan hitam merupakan tingkat kesadaran yang halus.

Akhirnya, pada tahap kedelapan, penglihatan hitam menghilang dan tahap pikiran yang paling halus dari cahaya jernih masuk. Ini adalah tingkat pikiran atau kesadaran kita yang paling halus dan paling murni. Meditator berpengalaman mampu melibatkan pikiran jernih yang jernih dalam meditasi, mencapai realisasi Kebenaran mutlak, dan bahkan mencapai Pencerahan. Itulah sebabnya para kontemplatif tidak takut mati dan bahkan menantikannya, seolah-olah hari libur sudah dekat!

Ini adalah penjelasan singkat dari delapan tahap. Penjelasan lebih rinci dapat ditemukan di beberapa buku, seperti The Tibetan Book of the Dead, diterjemahkan oleh Robert Thurman.

Karena kita takut akan hal yang tidak diketahui, menjadi akrab dengan tahap-tahap kematian akan membantu kita mengatasi ketakutan kita akan kematian sampai batas tertentu. Dan jika kita mulai melakukan meditasi yang terkait dengan perjalanan mental dari proses kematian dan kebangkitan cahaya jernih, yang dijelaskan dalam tradisi Vajrayana Tibet, maka sangat mungkin bahwa kita akan dapat mencapai realisasi pada saat itu. dari kematian.

Disebutkan di sini hanya beberapa praktik spiritual yang direkomendasikan yang dapat Anda pelajari sendiri dan praktikkan sepanjang hidup Anda untuk membantu Anda mempersiapkan kematian. Namun, ada banyak metode lain untuk orang-orang dengan kecenderungan yang berbeda. Ketika memilih metode yang paling cocok untuk kita, kita dapat mengandalkan intuisi dan kebijaksanaan kita sendiri, atau kita dapat berkonsultasi dengan guru spiritual yang dapat dipercaya yang memiliki hubungan spiritual dengan kita.

Bantuan untuk yang sekarat

Ajaran Buddhis mengatakan bahwa membantu orang lain untuk mati dalam keadaan pikiran yang damai dan tenang adalah salah satu perbuatan bajik terbesar. Ini karena momen kematian adalah kunci untuk menentukan kelahiran kembali berikutnya, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kelahiran kembali berikutnya.

Namun, membantu orang yang sekarat bukanlah tugas yang mudah. Ketika orang meninggal, mereka mengalami banyak kesulitan dan perubahan, yang secara alami menciptakan keadaan pikiran yang gelisah serta emosi yang menyakitkan. Orang sekarat memiliki kebutuhan fisik: mereka perlu dibebaskan dari rasa sakit dan ketidaknyamanan, mereka membutuhkan bantuan dengan kegiatan yang paling sederhana, seperti menghilangkan dahaga, makan, buang air besar, mandi, dll. Mereka juga memiliki kebutuhan emosional: mereka perlu diperlakukan dengan hormat, kebaikan dan cinta, untuk didengarkan, untuk berbicara dengan mereka, dan terkadang mereka ingin dibiarkan sendiri dan dibiarkan dalam keheningan. Mereka juga memiliki kebutuhan spiritual: mereka berusaha untuk menemukan makna hidup, untuk memahami penyebab penderitaan, kematian; mereka ingin menemukan harapan bahwa setelah kematian ada semacam kelanjutan; untuk merasa bahwa mereka akan dijaga dan melampaui ambang kematian mereka akan dibimbing oleh sesuatu yang lebih bijaksana, lebih kuat dari diri mereka sendiri.

Jadi, salah satu keterampilan terpenting dalam membantu orang yang sekarat adalah belajar memahami kebutuhannya dan berusaha memenuhinya sebanyak mungkin. Hal terbaik yang harus dilakukan ketika mengunjungi orang yang sekarat adalah mengesampingkan kebutuhan dan keinginan kita sendiri dan memutuskan bahwa kita sepenuhnya mengabdi kepada orang ini dan siap melakukan segalanya untuk membuatnya merasa lebih nyaman, bahagia, dan tenang.

Ada begitu banyak buku bagus di luar sana tentang cara merawat orang yang sekarat, dengan mempertimbangkan kebutuhan fisik dan emosional mereka. Dalam buku ini, kita akan fokus pada kebutuhan spiritual dan bagaimana mencoba memenuhinya.

Bekerja dengan emosi Anda

Ketika orang merasa sekarat, mereka terkadang mengalami emosi yang mengganggu seperti ketakutan, penyesalan, kesedihan; mereka melekat pada orang dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan ini, dan bahkan menjadi marah. Mungkin sulit bagi mereka untuk mengatasi emosi mereka yang membanjiri mereka, dan kadang-kadang bagi mereka tampaknya mereka benar-benar tenggelam dalam emosi mereka. Apa yang bisa membantu mereka saat ini? Seseorang harus berada di dekat mereka, mendengarkan mereka dengan simpati dan menemukan kata-kata penghiburan untuk membawa pikiran mereka ke keadaan yang seimbang.

Tetapi untuk mengatasi tugas ini, Anda perlu tahu cara menangani emosi Anda sendiri. Berada dekat dengan orang yang sekarat dapat menyebabkan perasaan gelisah yang persis sama dalam pikiran kita: ketakutan, kesedihan, keterikatan, perasaan tidak berdaya, dll. Beberapa dari emosi ini mungkin belum pernah kita alami sebelumnya dan, setelah menemukannya dalam pikiran kita, kita mungkin terkejut dan bahkan bingung. Oleh karena itu, kita perlu belajar bagaimana menghadapi emosi kita jika kita ingin memberikan bantuan nyata kepada orang lain.

Salah satu cara terbaik untuk mengatasi emosi Anda adalah melalui meditasi kesadaran (lihat di atas). Cara lain adalah dengan mengingatkan diri kita sendiri tentang ketidakkekalan, bahwa kita sendiri, orang lain, tubuh dan pikiran kita, dan segala sesuatu di sekitar kita terus berubah dari satu momen ke momen berikutnya, tidak pernah tetap sama. Kesadaran dan penerimaan akan ketidakkekalan adalah penangkal yang paling ampuh untuk kemelekatan, kemelekatan, dan ketakutan, yang sering kali merupakan penolakan terhadap perubahan. Juga sangat membantu untuk mengembangkan keyakinan teguh pada Tiga Permata Perlindungan (Buddha, Dharma dan Sangha). Itu memberi kita kekuatan dan keberanian yang kita butuhkan ketika kita mengalami emosi yang kejam.

Jika orang yang sekarat adalah anggota keluarga atau teman, maka akan sangat sulit bagi kita untuk mengatasi keterikatan dan harapan yang terkait dengannya. Meskipun sulit, tetap yang terbaik adalah "melepaskan" orang tersebut secara mental. Keterikatan padanya tidak realistis dan hanya akan menciptakan lebih banyak penderitaan bagi Anda berdua. Sekali lagi, obat yang paling efektif untuk kemelekatan adalah perhatian terhadap ketidakkekalan.

Berikan Harapan dan Terima Pengampunan

Sogyal Rinpoche dalam The Tibetan Book of the Living and the Dead (hlm. 212-213) mengatakan bahwa ketika membantu orang yang sekarat, sangat penting untuk memberinya harapan dan menerima pengampunan. Ketika orang meninggal, banyak dari mereka mengalami rasa bersalah, penyesalan, depresi, atau perasaan tidak berdaya. Anda dapat membantu mereka dengan membiarkan mereka berbicara, dengan mendengarkan dengan belas kasih dan tanpa menghakimi. Tetapi cobalah untuk membimbing mereka untuk mengingat hal-hal baik yang mereka lakukan dalam hidup dan merasa positif tentang cara mereka menjalani hidup mereka. Fokus pada keberhasilan dan prestasi mereka, bukan pada kesalahan dan perbuatan buruk mereka. Jika mereka terbuka terhadap informasi seperti itu, maka ingatkan mereka bahwa pada dasarnya mereka murni dan baik hati (dalam agama Buddha kami menyebutnya "sifat Buddha"), dan pelanggaran serta kesalahan mereka bersifat sementara dan dapat dihilangkan, seperti kotoran pada kaca.

Beberapa orang khawatir bahwa kesalahan mereka begitu banyak dan besar sehingga mereka tidak akan pernah menemukan pengampunan. Jika mereka percaya pada Tuhan atau Buddha, yakinkan mereka bahwa sifat Tuhan atau Buddha adalah murni, sifat mereka adalah cinta dan kasih sayang tanpa syarat, sehingga mereka akan selalu memaafkan kesalahan yang kita buat. Jika Anda memiliki orang yang tidak percaya di depan Anda, maka dia perlu memaafkan dirinya sendiri. Anda dapat membantunya melakukan ini dengan mendorongnya untuk benar-benar menyesali kesalahannya dan bersedia meminta maaf atas apa yang telah dilakukannya. Hanya itu yang dituntut darinya. Ingatkan dia bahwa apa pun yang dia lakukan, dia adalah masa lalu, dan tidak ada yang bisa diubah, jadi lebih baik tidak melekat pada masa lalu. Namun, Anda dapat mulai berubah sekarang. Jika seseorang benar-benar merasa menyesal atas kesalahannya dan keinginan untuk berubah, maka dia selalu bisa dimaafkan. Jika ada orang yang telah dia sakiti sebelumnya dan mereka masih hidup, maka bantulah dia mengucapkan kata-kata taubat dan meminta pengampunan.

Sogyal Rinpoche menulis (hlm. 213):

“Semua agama menekankan kekuatan pengampunan, dan kekuatan ini sangat dibutuhkan dan terutama dialami secara mendalam tepat pada saat kematian. Dengan memaafkan dan menerima pengampunan, kita membersihkan diri kita dari kegelapan pelanggaran kita dan mempersiapkan diri kita sepenuhnya untuk perjalanan melalui kematian.”

Bagaimana membantu seseorang yang beragama Buddha

Jika orang yang sekarat adalah seorang Buddhis, ajukan pertanyaan untuk mengetahui seberapa dalam pengetahuan dan tingkat wawasan mereka. Jawabannya akan membantu Anda memahami cara memberinya dukungan spiritual. Misalnya, jika orang yang sekarat memiliki keyakinan yang kuat pada Kwan-Yin (Tib. Chenrezig, Sansekerta Avalokiteshvara), maka Anda harus memperkuat keyakinannya dan menasihatinya untuk berdoa kepada Avalokiteshvara sesering mungkin. Atau, jika dia telah berlatih meditasi kesadaran, anjurkan dia untuk melakukan latihan ini sesering mungkin. Jadi, doktrin atau praktik apa pun yang akrab dengan orang yang sekarat, ingatkan dia tentang mereka dan lakukan segalanya untuk memperkuat imannya dan menginspirasi dia untuk melakukan praktik ini. Jika dia merasa sulit untuk melakukan latihan sendiri, karena sakit, kelelahan, atau keadaan pikiran yang kacau, maka lakukanlah bersamanya.

Jika memungkinkan, letakkan gambar Buddha, Kuan Yin, Amitabha, dan dewa lainnya di mana orang yang sekarat dapat melihatnya. Jika dia memiliki mentor spiritual, pasang juga potret mereka. Selain itu, adalah bermanfaat untuk melafalkan nama-nama Buddha kepada orang yang sekarat, karena para Buddha berjanji untuk membantu makhluk hidup menghindari kelahiran kembali yang buruk.

Beri tahu orang yang sekarat tentang ketidakkekalan dan ajaran Buddhis lainnya, atau baca kutipan yang sesuai dari buku, tetapi lakukan ini hanya jika dia tertarik, jangan mengganggu. Juga berhati-hatilah agar ajaran Anda tidak menyebabkan kebingungan atau kecemasan dalam pikiran orang yang sekarat (misalnya, jika subjeknya terlalu sulit untuk dipahami atau jika itu adalah ajaran yang baru dan asing). Ingatlah bahwa hal yang paling penting adalah membantu orang tersebut mencapai keadaan pikiran yang tenang dan positif sebelum dan sesudah kematian.

Mungkin juga orang yang sekarat tidak tahu bagaimana bermeditasi atau berdoa. Dalam hal ini, Anda dapat bermeditasi, berdoa, atau melakukan praktik lain di hadapannya, mendedikasikan jasa kebajikan untuk keadaan pikiran yang tenang pada saat kematian dan kelahiran kembali yang baik dari orang yang sekarat. Anda juga dapat mengajarinya berdoa dengan mengucapkan doa Buddha atau dengan kata-kata Anda sendiri, dari hati. Misalnya, dia mungkin berdoa kepada Buddha, Kuan Yin, atau Buddha lain yang dia kenal, meminta mereka untuk tidak meninggalkannya di masa-masa sulit, untuk membantunya menemukan kekuatan dan keberanian untuk mengatasi penderitaannya, menjaga pikirannya tetap tenang dan menemukan jalan. untuk kebaikan. kelahiran kembali.

Berikut ini adalah meditasi sederhana yang dapat Anda ajarkan kepada orang yang sekarat: mintalah mereka untuk memvisualisasikan Buddha mana pun yang mereka percayai di depan mereka, dengan membayangkan bahwa mereka mewujudkan semua kualitas positif dan murni seperti welas asih, cinta, kebaikan, pengampunan, dan kebijaksanaan. Cahaya turun dari tubuh Buddha, memenuhi tubuh dan pikiran orang yang sekarat, membersihkannya dari semua perbuatan dan pikiran negatif dan memberkati dia untuk mendapatkan pikiran positif yang murni. Pikiran orang yang sekarat menyatu dengan pikiran Sang Buddha, yang memiliki kemurnian dan kebaikan yang sempurna. Jika orang yang sekarat tidak dapat melakukan meditasi ini (misalnya, mereka sangat sakit atau tidak sadar), maka Anda dapat melakukannya untuk mereka dengan membayangkan Buddha di atas kepala orang yang sekarat.

Selain itu, bantu orang yang sekarat untuk melepaskan kekhawatiran dan kecemasan, minta dia untuk tidak khawatir tentang orang yang dicintai dan harta benda, memastikan bahwa semuanya akan diurus, dan meyakinkan dia untuk tidak takut dengan apa yang ada di depan, tetapi tetap percaya pada Tiga Permata. Cobalah, dengan kemampuan terbaik Anda, untuk membantunya mengembangkan keadaan pikiran yang positif: keyakinan, kasih sayang, cinta, dan kebaikan, dan untuk menghindari pikiran negatif: kemarahan dan kemelekatan.

Bagaimana membantu seseorang yang bukan Buddhis

Jika orang yang sekarat itu berasal dari denominasi agama lain, cobalah untuk memahami keyakinan dan kepercayaan mereka dan berbicara dengan mereka dalam bahasa itu. Misalnya, jika mereka percaya pada Tuhan dan surga, bantu mereka memperkuat iman mereka, mengarahkan doa mereka kepada Tuhan, dan dipenuhi dengan keyakinan bahwa setelah kematian mereka akan berada di surga bersama Tuhan. Anda harus memperlakukan orang yang sekarat dengan hormat, keyakinan dan latihan spiritualnya. Ingatlah bahwa yang paling penting adalah membantunya mendengarkan pikiran-pikiran positif yang ada dalam konteks agama dan praktiknya. Tidak perlu memaksakan keyakinan Anda sendiri padanya atau mengubahnya menjadi agama Anda. Ini akan menjadi manifestasi dari tidak menghormati orang yang sekarat dan melanggar standar etika. Perilaku seperti itu di pihak kita dapat menyebabkan kecemasan dan kecemasan pada orang yang sekarat.

Jika orang yang sekarat adalah orang yang tidak beriman, jangan gunakan istilah agama saat berbicara dengannya. Dengan kata-kata sederhana, bantu dia menyingkirkan pikiran negatif seperti kemarahan dan kemelekatan dan mengembangkan pikiran positif dan keadaan pikiran yang tenang. Jika dia menunjukkan minat pada apa yang Anda yakini, maka Anda dapat memberitahunya tentang hal itu, tetapi berhati-hatilah agar cerita Anda tidak berubah menjadi sebuah khotbah. Mungkin lebih efektif untuk melakukan percakapan di mana Anda secara terbuka berbagi pandangan satu sama lain. Misalnya, jika orang yang sekarat meminta Anda untuk berbicara tentang apa yang terjadi setelah kematian, maka daripada langsung membahas tentang kelahiran kembali, lebih baik mengatakan: “Saya tidak yakin. Dan apa yang kamu pikirkan?" , dan mulai percakapan dari titik itu.

Jika orang yang sekarat benar-benar ingin belajar tentang agama dan praktik Buddhis, maka tentu saja seseorang dapat mulai memberi tahu mereka tentang mereka. Anda dapat berbicara tentang kehidupan Sang Buddha dan Ajarannya, tentang Empat Kebenaran Mulia, tentang ketidakkekalan, tentang cinta dan kebaikan, tentang welas asih, dll. Berhati-hatilah dan peka terhadap reaksi orang yang sekarat: jangan mendorong, jika tidak ia dapat jatuh ke dalam keadaan pikiran yang negatif.

Ingatlah bahwa tujuan utamanya adalah membantunya menyingkirkan pikiran negatif dan berada dalam keadaan pikiran yang positif dan tenang.

Jika orang yang sekarat itu bukan seorang Buddhis, dia akan tidak nyaman jika Anda membaca doa Buddha atau melakukan praktik Buddhis di depannya, maka Anda dapat melakukannya secara diam-diam, sehingga dia tidak mengetahuinya. Misalnya, Anda dapat duduk di dekatnya dan bermeditasi tentang cinta dan kebaikan, mengirimkan energi kebaikan yang lahir di hati Anda kepada orang yang sekarat untuk membantunya menemukan kedamaian. Atau Anda dapat memvisualisasikan Buddha atau Kuan Yin yang sekarat di atas kepala Anda dan melafalkan doa atau mantra dalam hati sambil memvisualisasikan aliran cahaya yang mengalir dari rupang Buddha ke orang yang sekarat. Bayangkan secara mental bahwa cahaya ini memurnikan dia dan membantu pikirannya menemukan kedamaian dan kemurnian. Kemungkinan besar seseorang akan merasakan kekuatan dari praktik-praktik ini, bahkan jika dia tidak tahu bahwa seseorang melakukannya atas namanya!

Waktu kematian

Anda dapat terus bermeditasi atau membaca doa, mantra, nama-nama Buddha dalam proses kematian seseorang, serta selama mungkin setelah pernapasan berhenti. Ingatlah bahwa, menurut ajaran Buddha, penghentian pernapasan tidak dianggap sebagai momen penghentian kehidupan. Ini baru tahap keempat dari delapan tahap proses kematian, dan kematian sebenarnya terjadi pada saat kesadaran meninggalkan tubuh, yaitu pada akhir tahap kedelapan.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tahap kedelapan setelah berhenti bernapas? Ini tidak bisa dikatakan dengan pasti. Itu semua tergantung pada berbagai faktor, seperti penyebab kematian (misalnya, jika tubuh seseorang rusak parah dalam kecelakaan mobil, maka kesadarannya dapat meninggalkan tubuh lebih cepat daripada dalam kasus kematian alami) dan keadaan pikiran (meditator yang berpengalaman dapat tetap berada di tahap kedelapan, tahap cahaya jernih, lebih lama dari seseorang yang bermeditasi sedikit atau tanpa pengalaman meditasi).

Bagaimana kita bisa tahu bahwa seseorang benar-benar mati? Menurut tradisi Tibet, ada beberapa tanda bahwa kesadaran telah meninggalkan tubuh: suhu pada tingkat pusat jantung menurun, tubuh mulai berbau, dan sejumlah kecil cairan dikeluarkan dari lubang hidung atau alat kelamin. Sampai tanda-tanda ini muncul, yang terbaik adalah meninggalkan tubuh sendirian. Sebelum muncul setelah berhenti bernapas, dibutuhkan beberapa jam hingga beberapa hari. Anda dapat melakukan ini jika seseorang meninggal di rumah, tetapi sulit jika dia meninggal di rumah sakit, karena rumah sakit memiliki aturan yang mengatur lamanya tubuh berada di bangsal atau di kamar rumah sakit mana pun. Anda dapat meminta staf rumah sakit untuk memindahkan tubuh ke ruangan lain dan meninggalkannya di sana selama beberapa jam lagi sementara doa dan mantra yang diperlukan dibacakan.

Lebih baik tidak menyentuh tubuh dari saat napas berhenti sampai saat kesadaran meninggalkannya. Namun, jika diperlukan untuk menggerakkan tubuh, cabut dulu beberapa helai rambut dari atas kepala (atau sentuh bagian atas kepala jika tidak ada rambut). Ini merangsang kesadaran orang tersebut untuk meninggalkan tubuh melalui ubun-ubun, yang merupakan titik keluar untuk kelahiran kembali yang menguntungkan, misalnya, di Tanah Suci. Setelah itu, Anda bisa menyentuh bagian tubuh lainnya.

Dalam tradisi Buddhis, dianjurkan untuk tidak menangis di hadapan orang yang sekarat. Tidak disarankan untuk menangis bahkan setelah dia berhenti bernapas. Juga lebih baik untuk tidak membicarakan properti seseorang dan bagaimana itu akan didistribusikan. Pembicaraan seperti itu dapat mengganggu pikiran seseorang. Anggota keluarga dan teman mungkin pergi ke ruangan lain untuk menangis atau mendiskusikan hal-hal praktis. Bagi orang yang telah meninggal, akan lebih baik untuk mendengar suara doa, mantra dan petunjuk spiritual.

Di antara praktik-praktik yang Lama Zopa Rinpoche anjurkan untuk dilakukan bagi almarhum adalah Buddha Pengobatan, Amitabha, Chenrezig, Memberi Nafas kepada Yang Tidak Beruntung, dan Raja Doa. Salinan teks-teks ini dan praktik-praktik lain untuk orang yang sekarat dan mati dapat diperoleh dengan menulis ke: [dilindungi email] Jika ada lama atau biksu yang ditahbiskan di daerah Anda yang tahu bagaimana melakukan praktik Phowa (pemindahan pikiran), maka Anda dapat mengundangnya. Jika tidak ada orang seperti itu, maka lakukanlah amalan-amalan itu dan bacalah doa-doa yang Anda sendiri ketahui, dengan segenap keyakinan, ketulusan dan kasih sayang yang mampu dilakukan oleh hati Anda.

Bantuan setelah kematian

Setelah seseorang meninggal, kita dapat terus membantunya mengumpulkan jasa kebajikan dengan melakukan perbuatan bajik: melafalkan doa (Anda dapat meminta bantuan biksu atau biksuni), membuat persembahan, hewan bebas yang akan dibawa ke pembantaian, dan bermeditasi, dll. . Semua jasa dari tindakan ini dapat didedikasikan untuk kelahiran kembali yang baik dari almarhum, Pembebasannya yang cepat dari samsara dan pencapaian Pencerahan. Disarankan untuk mendedikasikan jasa tanpa memandang apakah almarhum adalah seorang Buddhis atau non-Buddhis.

Sangat baik menggunakan dana pribadi almarhum untuk akumulasi jasa, misalnya, mengarahkan mereka untuk tujuan amal. Penting untuk diketahui bahwa pahala yang dikumpulkan oleh anggota keluarga (kerabat langsung dari almarhum) lebih kuat dan efektif. Melakukan perbuatan bajik dan mendedikasikan jasa untuk almarhum dapat membantu seseorang di bardo (keadaan peralihan antara kematian dan kehidupan berikutnya, yang berlangsung hingga 49 hari). Namun, jika almarhum menemukan kelahiran kembali berikutnya cukup cepat, maka jasa yang kami persembahkan kepadanya, berpikir bahwa ia berada di bardo, mungkin tidak membantunya dalam kelahiran baru ini, tetapi dapat membantunya dalam kelahiran kembali berikutnya, misalnya, memperpendek hidupnya berada dalam kelahiran yang tidak menguntungkan.

Kesimpulan

Saya berharap bahwa ide-ide dalam buklet ini akan membantu Anda menerima kematian yang tak terhindarkan dan menghilangkan ketakutan Anda sendiri dan orang lain. Ada banyak bahan yang diambil dari tradisi agama dan spiritual kuno, serta bidang pengetahuan modern seperti psikologi, sosiologi, dan perawatan paliatif, yang membantu Anda membangun hidup sehingga Anda dapat menghadapi kematian dengan damai, tenang, dan berani. . Dan ketika orang yang kita cintai meninggal, kita dapat memberi mereka kenyamanan, kejernihan pikiran, dan harapan. Biarkan karya kecil ini menginspirasi Anda dalam penelitian Anda sendiri tentang topik penting ini. Dan semoga semua makhluk hidup terbebas dari penderitaan yang terkait dengan penghentian kehidupan, dan mencapai kedamaian dan kebahagiaan tertinggi di luar siklus kelahiran dan kematian.

Lampiran 1 Meditasi Tonglen (Memberi dan Menerima) versi sederhana berdasarkan masalah Anda sendiri

Anda dapat menerapkan metode ini setiap kali Anda menghadapi masalah apa pun, baik yang berkaitan dengan tubuh, emosi, kehidupan pribadi, atau pekerjaan. Duduk, tenangkan pikiran, kembangkan motivasi yang tepat untuk melakukan latihan. Kemudian fokus pada masalah Anda. Biarkan itu datang ke pikiran Anda, rasakan betapa menyakitkannya, bagaimana pikiran Anda ingin menyingkirkannya... Kemudian pikirkan, “Saya bukan satu-satunya orang yang memiliki masalah ini. Ada banyak orang lain…” Pikirkan orang lain yang memiliki masalah yang sama atau serupa: beberapa dari mereka bahkan lebih menderita daripada Anda. (Misalnya, jika Anda kehilangan orang yang dicintai, pikirkan orang-orang yang kehilangan banyak orang yang dicintai dan orang yang dicintai selama perang atau kelaparan.)

Kemudian bangkitkan welas asih dengan berpikir, "Alangkah indahnya jika semua orang ini dapat dibebaskan dari penderitaan." Kemudian putuskan bahwa Anda akan secara sadar menanggung penderitaan yang ditimbulkan oleh masalah Anda untuk membantu semua orang mengatasi kesulitan. Anda dapat melakukan ini sambil bernapas, membayangkan secara mental bagaimana Anda menghirup penderitaan dalam bentuk asap hitam. Dia memasuki hatimu, di mana pikiran egois kita berada; bayangkan itu sebagai tempat gelap yang stabil atau batu yang keras. Asap gelap penderitaan diserap ke dalam batu keegoisan dan menghancurkannya...

Kemudian hembuskan kebahagiaan, kualitas baik dan jasa dalam bentuk cahaya jernih, yang memberdayakan Anda dan semua orang lain dengan semua kualitas yang diperlukan untuk mengatasi masalah dan membuat kemajuan di jalan menuju Pencerahan. Akhiri meditasi dengan perasaan gembira bahwa Anda telah melakukan latihan ini dan dedikasikan akumulasi pahala (energi positif) untuk memastikan bahwa semua makhluk menemukan kebahagiaan dan kebebasan dari penderitaan.

Lampiran 2 Meditasi Pengampunan

Saat kita berlatih meditasi, kita secara alami menjadi lebih sadar akan apa yang terjadi dalam pikiran kita. Kami memahami lebih jelas apa yang kami rasakan dan mengapa. Kita mulai menyadari ketidakkonsistenan dalam hidup kita sendiri dan berhadapan dengan perasaan terluka dan luka lama. Secara bertahap, kami memperoleh kemampuan untuk mengungkap ujungnya dan menyembuhkan luka. Meditasi pengampunan adalah cara yang bagus untuk menyembuhkan rasa sakit dari kebencian lama yang menghalangi hati kita dan mencegah kita merasakan cinta dan kepercayaan pada diri kita sendiri dan orang lain. Pengampunan adalah kunci yang membuka hati kita, membantu kita belajar dari pengalaman masa lalu yang menyakitkan dan melangkah tanpa hambatan ke masa depan.

Duduk, tenang, rilekskan tubuh Anda dan fokuskan pikiran Anda pada napas Anda. Biarkan kenangan, gambar, dan emosi melayang bebas di pikiran Anda - tindakan, kata-kata, dan pikiran yang tidak pernah Anda maafkan atas semua rasa sakit yang ditimbulkannya kepada Anda.

Katakan pada diri sendiri dengan segala ketulusan, “Saya memaafkan diri sendiri atas semua yang telah saya lakukan di masa lalu, sengaja atau tidak sengaja, atas tindakan, kata-kata, dan pikiran saya. Saya sudah cukup menderita! Sekarang saya telah belajar, tumbuh dan siap untuk membuka diri. Semoga saya bahagia, semoga saya bebas dari rasa bersalah, semoga saya tahu sukacita dari benar-benar memahami diri sendiri, orang lain, dan dunia. Semoga saya dapat mengetahui integritas kepribadian saya dan keindahan alam saya dan membantu orang lain untuk melakukan ini.

Sekarang bayangkan di ruang di depan Anda orang yang Anda cintai yang ingin Anda maafkan atau yang pengampunannya Anda butuhkan. Arahkan aliran pemikiran berikut dari hati Anda ke hatinya: “Dari lubuk hati saya, saya memaafkan Anda atas apa yang Anda lakukan, sengaja atau tidak sengaja, dengan tindakan, kata-kata, pikiran Anda yang menyakiti saya. Saya memaafkan Anda dan meminta maaf atas semua hal yang telah saya lakukan, sengaja atau tidak sengaja, untuk menyakiti Anda. Maafkan aku. Jadilah bahagia, bebas dan gembira. Semoga kita berdua membuka hati dan pikiran kita untuk bertemu dalam cinta dan pengertian, secara bertahap menyadari bahwa kita adalah satu.”

Bayangkan bahwa pesan Anda diterima, bahwa Anda diampuni, dan coba rasakan bahwa ini telah menyembuhkan hati Anda dan memperkuat hubungan di antara Anda. Kemudian bayangkan bahwa gambar ini menghilang ke luar angkasa.

Kemudian pikirkan banyak orang yang gagal menunjukkan perasaan tulus Anda: ingat bagaimana perasaan Anda dan bagaimana Anda bertindak ketika mereka menghina Anda, memperlakukan Anda dengan kasar, mengambil tempat parkir "Anda", mengantre di depan Anda, dan seterusnya. .. tak terhingga... Bayangkan berapa banyak orang yang Anda sakiti dengan satu atau lain cara, dengan tindakan, kata-kata, dan pikiran sadar atau tidak sadar Anda. Berapa kali Anda bertindak sebagai pelaku, orang yang mendorong sejalan orang yang kasar? Bayangkan jumlah orang yang tak terbatas di depan Anda. Kirimkan pesan tulus berikut, dari hati Anda ke hati mereka: “Saya memaafkan Anda dan meminta Anda untuk memaafkan saya atas semua hal yang telah saya lakukan, sengaja atau tidak, untuk menyakiti Anda. Semoga kita dalam hidup ini memunculkan alasan untuk kebahagiaan. Semoga kita semua sampai pada kebahagiaan karena benar-benar memahami dan mengalami saling ketergantungan. Semoga kita bisa membuka hati dan pikiran kita satu sama lain dan bertemu secara harmonis.

Ulangi meditasi refleksi ini sebanyak yang Anda suka. Sebagai penutup, visualisasikan, dengan kelincahan dan kejernihan hati Anda, bahwa Anda dibebaskan dari rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Dan pada saat ini, rasakan bahwa Anda telah memaafkan diri sendiri dan berhasil menerima tindakan Anda dengan tenang.

Dari Seni Rupa Relaksasi, Konsentrasi dan Meditasi oleh Joel dan Michelle Levey (Wisdom Publications, Boston, 1991)

Kutipan Inspirasional

“Murid-muridku, saat kematianku semakin dekat, perpisahan kita sudah dekat, tetapi jangan bersedih. Hidup berubah sepanjang waktu, dan tidak ada yang bisa menghindari kehancuran tubuh. Ini saya tunjukkan sekarang dengan kematian saya, tubuh saya berantakan seperti gerobak bobrok.

Jangan bersedih dengan sia-sia, tetapi sadarilah bahwa tidak ada yang permanen, dan gunakan contoh ini untuk memahami kekosongan hidup manusia. Jangan sia-siakan mimpi yang tidak berharga bahwa yang berubah akan menjadi tidak berubah ... "- Kata-kata terakhir Buddha Shakyamuni kepada murid-muridnya.

Kematian tidak bisa dihindari.

“Tidak seorang pun, meskipun dia melihat orang lain sekarat di sekitarnya, percaya bahwa dia sendiri yang akan mati.” Bhagawad Gita.

"Selama kamu kuat dan sehat,

Anda tidak memikirkan penyakit yang akan datang,

Tapi itu runtuh dengan kekuatan yang tidak terduga

Seperti sambaran petir.

Sementara Anda sibuk dengan hal-hal duniawi,

Anda tidak berpikir tentang kematian yang akan datang

Tapi dia datang dengan cepat seperti petir

Runtuh seperti biji di atas kepalamu, Milarepa.

Bagaimana mati dalam kebahagiaan dan kesadaran akan makna.

“Jika seseorang meninggal dengan pemikiran tentang bagaimana memberi manfaat bagi orang lain, maka pikirannya secara alami berdiam dalam kebahagiaan, dan ini mengisi kematiannya dengan makna.” Lama Zopa Rinpoche.

“Waktunya tidak akan pernah tiba ketika Anda akan bebas dari semua urusan, jadi setiap hari cari kesempatan [untuk latihan] ... Kematian tidak bisa dihindari, tetapi waktu kedatangannya tidak diketahui - itu bisa datang kapan saja, jadi jangan ragu-ragu." Yang Mulia Dalai Lama. Lama Zopa Rinpoche.

“Apa itu belas kasihan? Ini bukan hanya kasih sayang atau kepedulian terhadap penderitaan, bukan hanya kehangatan hati yang diberikan kepada orang lain, atau kesadaran yang jelas akan kebutuhan dan penderitaannya, ini adalah, di atas segalanya, sebuah kesiapan yang konsisten dan didukung oleh perbuatan nyata untuk melakukan segalanya. mungkin dan perlu untuk meringankan penderitaannya, ” Sogyal Rinpoche, Pembersihan demi Pembersihan.

Kebaikan yang diperoleh dari membantu orang lain.

“Merawat orang yang sakit atau sekarat adalah persiapan terbaik untuk kematian Anda sendiri.” Lama Zopa Rinpoche.

“Ketika kita belajar untuk memberikan bantuan nyata kepada orang yang sekarat, kita dipenuhi dengan keberanian dan rasa tanggung jawab yang diperlukan untuk menghadapi kematian kita sendiri, dan kita menemukan dalam diri kita awal dari belas kasih tanpa batas, keberadaan yang bahkan tidak kita duga. ” Rinpoche Sogyal.

Diterjemahkan oleh Delhi Lidzhi-Garyayeva

Kita sampai pada pertanyaan utama ketiga: bagaimana mempersiapkan kematian? Cara luar biasa untuk menguatkan pikiran dan hati dalam mengantisipasi ujian ini adalah meditasi. Tetapi saat kematian bisa benar-benar menakutkan. Mari kita membahas ini secara lebih rinci dan beralih ke analogi berenang di sungai yang bergejolak. Untuk mengatasi jeram sungai yang paling berbahaya, para profesional berlatih keras agar tidak tersesat di antara bebatuan, aliran sungai, dan air terjun.

Membayangkan kematian adalah satu hal, dan merupakan hal lain lagi untuk tetap tenang pada saat meninggalkan kehidupan ini. Agar tidak kehilangan akal ketika bertemu dengan ambang seperti itu, Anda perlu belajar merasakan air, atau, seperti yang disarankan oleh guru Carlos Castaneda, don Juan, selalu "merasa mati di belakang bahu Anda". Pengingat akan perlunya mempersiapkan kematian dan terus-menerus memikirkannya bisa bersifat alegoris (misalnya, daun musim gugur yang jatuh mengingatkan akan hal ini) atau sama sekali tidak ambigu, seperti tulisan di batu nisan yang saya lihat di New England:

Saya seperti Anda, seorang pejalan kaki,

Tapi kamu juga akan mati suatu hari nanti.

Ketahuilah bahwa itu akan terjadi pada Anda juga.

Bersiaplah untuk mengikuti saya.

Menurut kesalahpahaman yang tersebar luas, mempersiapkan kematian merusak kualitas hidup kita. Sebenarnya tidak. Selama bekerja dengan orang yang sekarat, saya berulang kali menemukan bahwa duduk di samping ranjang kematian seseorang membuat saya merasa sangat hidup. Ketika Marcel Proust (50), penikmat besar komedi manusia, ditanya oleh seorang reporter surat kabar bagaimana orang harus berperilaku dalam bencana dunia yang mengancam kematian yang tak terhindarkan, dia mengatakan hal yang sama:

Tampaknya bagi saya bahwa jika kita diancam dengan kematian, hidup akan tiba-tiba tampak indah. Pikirkan tentang berapa banyak proyek, perjalanan, novel, pelajaran yang kita lewati karena kita malas menunda semuanya sampai nanti, karena yakin akan masa depan yang aman.

Tapi, jika semua ancaman ini hilang selamanya, alangkah indahnya! Hai! Jika tidak ada bencana, kita tidak akan melewatkan pembukaan pameran baru di Louvre, kita akan jatuh di kaki Miss X, kita akan pergi ke India.

Bencana alam tidak terjadi, dan kami tidak melakukan apa-apa, kembali ke kehidupan normal, kelalaian yang merampas keinginan rasa. Namun, untuk mencintai kehidupan hari ini, kita tidak membutuhkan bencana. Cukuplah untuk mengingat bahwa kita adalah manusia dan bahwa kematian bisa datang kepada kita malam ini.

Proust berarti bahwa kurangnya kesadaran akan kefanaan kita tidak memungkinkan kita untuk memahami kehidupan sepenuhnya seperti yang kita alami dalam menghadapi kematian yang akan segera terjadi. Kematian, seperti cinta, memutuskan batas antara kita dan Misteri, menyebabkan cengkeraman ego melemah dan kesadaran jiwa muncul.

Upaya harus dilakukan dalam hidup seseorang untuk secara sadar menerima hadiah kematian. Penting untuk melatih pikiran dan hati untuk mengidentifikasi dengan obor kebenaran, dan mempertajam perhatian sehingga tidak menyebar bahkan pada saat gejolak terbesar. Untuk lebih mudah melintasi batas kehidupan, Anda harus membuang banyak hal ke laut. Hal ini diperlukan untuk memilah hubungan kita dengan yang hidup dan yang meninggal. Tidak perlu secara fisik menyapa orang yang terhubung dengan kita; sebaliknya, kita perlu melepaskan simpul pada utas koneksi kita di hati kita. Ajukan pertanyaan penting kepada diri sendiri: "Apakah saya ingin mati dengan noda ini di pikiran saya?" Anda hampir selalu menjawab "Tidak". Kematian memberikan kesempatan unik untuk melihat drama ego dalam cahaya aslinya. Beberapa masalah layak dibawa bersama Anda ke dunia berikutnya. Dengan melakukan inventarisasi ketat dari keterikatan kita yang tidak perlu, kita bersiap untuk jalan keluar yang damai.

Penting tidak hanya untuk memahami hubungan Anda dengan orang lain, tetapi juga untuk menertibkan urusan Anda - secara hukum, medis, dan finansial. Jika Anda tidak ingin para profesional medis menjaga tubuh Anda tetap hidup dengan segala cara, atau jika Anda ingin menempatkan organ-organ yang masih hidup dari tubuh Anda yang sudah mati untuk diserahkan kepada dokter (untuk transplantasi atau penelitian), tanda tangani "Kehendak Hidup" (51 ) . Surat wasiat Anda harus menunjukkan apakah Anda lebih suka penguburan atau kremasi untuk mayat Anda. Pada saat yang sama, disarankan untuk mendiskusikan detail ini dengan mereka yang akan memenuhi keinginan Anda.

Perlunya konsultasi semacam itu dengan jelas ditunjukkan kepada saya oleh kematian bibi saya. Adik perempuan ayahku adalah seorang wanita bandel dengan sifat pemberontak. Ketika dia didiagnosis menderita tumor otak pada usia enam puluh tahun, dia menuntut agar dia dikremasi, bertentangan dengan hukum Yudaisme. Dia meninggal, keinginannya terpenuhi, dan keluarga ingin mengubur abunya di sebelah kerabat almarhum lainnya, tetapi administrasi pemakaman menentang - itu adalah pemakaman Yahudi. Masalah serius muncul, yang diselesaikan sebagai berikut: di tengah malam, paman dan bibi saya, dengan lentera, sekop dan guci, memanjat pagar kuburan, menggali lubang kecil di petak keluarga, menempatkan abu di sana, menutupi jejak mereka dan melarikan diri. Mereka tidak tertangkap, tetapi, pada prinsipnya, mereka bisa berada dalam masalah serius.

Beberapa orang merasa sulit untuk membuat surat wasiat. Ada gagasan takhayul bahwa seseorang tidak akan mati sampai dia mengungkapkan keinginan terakhirnya. Cara berpikir ini dapat menimbulkan masalah bagi mereka yang kita tinggalkan. Ayah saya adalah seorang pengacara, dan saya sering mendengar dari dia tentang keluarga dan teman-teman yang berselisih karena proses pengadilan. Program penuaan sadar mengharuskan kita untuk mencoba untuk tidak menyakiti siapa pun dengan kematian dan kematian kita. Kita perlu menunjukkan kepedulian yang maksimal bagi mereka yang akan terus hidup setelah kepergian kita. Perhatian pada hal-hal materi seperti itu adalah bagian dari latihan spiritual kita dan melambangkan penolakan terakhir terhadap kekuatan duniawi.

Penting juga untuk memutuskan di mana kita ingin mati. Ini adalah salah satu keputusan yang paling penting, dan diinginkan untuk membuatnya sebelum krisis. Apakah kita ingin mati di rumah sakit di mana semua perhatian terfokus pada perawatan medis - atau di rumah? Bagaimana mengisi ruangan tempat kita mati dengan suasana spiritual sehingga membantu kita untuk tetap sadar dan memudahkan kepergian kita? Misalnya, dalam Buddhisme Tanah Murni Jepang (52), merupakan kebiasaan untuk menempatkan gambar tempat tinggal surgawi di samping tempat tidur orang yang sekarat sehingga orang tersebut dapat fokus pada gambar itu pada saat keberangkatan.

Kau tahu, Rich, kurasa aku sekarat.

Saya juga berpikir begitu, jawab saya. Dia bertanya:

Menurutmu kematian itu seperti apa?

Kami membicarakannya sebentar dan saya berkata:

Anda tampak bagi saya seperti seseorang yang berada di rumah yang berantakan. Tapi ikatan kami sepertinya tidak bergantung pada rumah. Anda akan terus ada bahkan ketika tubuh Anda tidak ada lagi. Dan hubungan kita juga akan tetap ada.

Dia bilang dia merasakan hal yang sama. Kami bersama-sama di ruang ini selama yang diperlukan untuk memahami kebenaran ini - hanya sesaat - tetapi kesatuan seperti itu sangat menghibur kami.

Sang ibu meminta para dokter untuk mengizinkannya pulang dari rumah sakit. Dia ingin kembali ke kamarnya. Pada akhirnya, mereka dengan enggan setuju, dan ambulans membawa pulang ibu saya. Sangat jelas bahwa setelah sepuluh tahun berjuang melawan penyakit itu, dia sekarang sekarat. Saya terakhir melihatnya sebelum terbang ke California, di mana saya seharusnya memberikan kuliah pada hari Minggu di Santa Monica Civic Center. Meskipun saya tidak berharap untuk melihat ibu saya lagi, pada saat itu kewajiban saya kepada penyelenggara kuliah bagi saya lebih penting daripada berada di sisi tempat tidur seorang wanita sekarat. Hari ini saya akan membuat keputusan yang berbeda, tetapi saya masih muda dan ambisius, dan sekarang saya harus hidup dengan ingatan akan tindakan saya itu.

Sang ibu tinggal di rumah hanya untuk satu hari, setelah itu para dokter memutuskan bahwa dia terlalu lemah, dan, terlepas dari permintaannya, mereka membawa pasien mereka kembali ke rumah sakit. Ayah saya, yang sangat sulit menerima kematian, mengandalkan pendapat para profesional: "Dokter tahu yang terbaik." Saya tahu bahwa memberi ibu saya kesempatan untuk mati di mana dia merasa lebih bebas adalah salah, tetapi saya merasakan tekanan dari nilai-nilai yang tidak saya bagikan, dan saya takut menjadi minoritas. Karena itu, saya diam. Ibu kembali dibawa ke rumah sakit, dan malam berikutnya dia meninggal sendirian di bangsal resusitasi yang penuh dengan mekanisme, terputus dari cucunya (yang tidak diizinkan pergi ke sana) dan dari rumah tercinta.

Pada tahun-tahun sejak kematian ibu saya, gerakan rumah sakit telah terbentuk di negara kita. Bagi mereka yang penyakit atau kesepiannya mencegah mereka dari kematian di rumah, rumah sakit adalah alternatif yang baik untuk rumah sakit. Inti dari gagasan hospice adalah pandangan yang lebih tercerahkan tentang kematian sebagai proses alami yang tidak boleh diganggu oleh metode medis tertentu. Bagi kita yang ingin mendekati kematian secara sadar, rumah sakit yang stafnya bebas dari pola pikir menjaga tubuh tetap hidup bagaimanapun caranya bisa menjadi tempat yang indah.

Ada banyak orang yang terlibat dalam pekerjaan hospices yang sangat memahami arti dari proses kematian dan mencoba untuk merohanikannya.

Saya tidak ingin membayangi dokter dan rumah sakit. Pekerjaan para profesional medis, yang sebagian besar telah mendedikasikan hidup mereka untuk gagasan yang sangat spiritual (walaupun mereka sendiri mungkin tidak cenderung menggunakan kata "spiritual") untuk mengurangi penderitaan, hampir tidak dapat ditaksir terlalu tinggi. Terlebih lagi, banyak rumah sakit melonggarkan aturan mereka, memberi pasien lebih banyak kebebasan.

Pada tahun tujuh puluhan, sepuluh tahun setelah kematian ibu saya, saya mengunjungi Debi Mathesen yang sakit, istri Peter Mathesen (53). Debi sekarat karena kanker di salah satu gedung Rumah Sakit Mountain Sinai New York. Di New York, dia menghadiri pusat Zen, dan para biarawan mulai datang ke lingkungannya untuk bermeditasi dan membantu mempersiapkan saat keberangkatan. Di salah satu sudut mereka mendirikan sebuah altar kecil, dan ketika mereka mulai bernyanyi, bangsal rumah sakit berubah menjadi sebuah kuil kecil. Suatu ketika, ketika Debi memiliki biksu, dokter mengunjunginya selama pemeriksaan mereka - dengan map, stetoskop, keceriaan profesional dan pertanyaan: "Bagaimana kabar kita?" Tetapi suasana spiritual di bangsal begitu kuat sehingga para dokter berhenti, menelan akhir kalimat, dan dengan cepat mundur dalam kebingungan! Untuk meninggalkan tubuh, Debi mampu menyiapkan ruang suci seperti itu, di mana bahkan jubah putih yang dikanji pun tidak bisa dikendalikan.

Meskipun sekarat di rumah, di lingkungan yang akrab, jauh lebih tenang, terkadang lingkungan seperti itu membuat sulit untuk pergi. Kehadiran orang yang dicintai dan benda-benda dapat mempengaruhi kematian. Tidak ingin menyakiti orang yang dicintai, seseorang ingin tetap bersama mereka, terlepas dari kenyataan bahwa alam mengharuskan sebaliknya. Karena itu, perjuangan internal yang menyakitkan dapat terjadi di hati orang yang sekarat: jiwa ingin pergi, dan ego melekat pada kehidupan. Kita perlu mengingat ini ketika orang yang kita cintai meninggal dan ketika giliran kita tiba.

Saya diberitahu tentang seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun bernama Michelle yang sekarat karena kanker di rumah sakit yang sama tempat ibunya bekerja sebagai perawat. Sang ibu mencoba yang terbaik untuk menjaga anak satu-satunya tetap hidup, tidur di ranjang sebelah dan meninggalkan putrinya hanya untuk pergi ke kamar mandi. Pada saat seperti itu, Michelle berbisik kepada pengasuh, "Tolong beri tahu ibumu untuk membiarkan saya pergi." Tapi ini tidak mungkin, dan Michelle meninggal hanya ketika ibunya pergi makan malam pada suatu malam.

Penting tidak hanya untuk memutuskan di mana kita ingin mati, tetapi juga untuk memutuskan seberapa sadar kita ingin berada pada saat kematian. Tentu saja, kematian membawa begitu banyak kejutan sehingga sulit untuk memprediksi dengan tepat bagaimana hal itu akan terjadi, tetapi Anda setidaknya dapat menyatakan preferensi Anda. Ini bukan topik yang mudah. Meskipun ilmu manajemen nyeri telah membuat kemajuan besar dalam beberapa tahun terakhir, masih banyak jebakan. Karena sebagian besar dokter hanya tertarik pada tubuh dan kurang memperhatikan kualitas kesadaran orang yang sekarat, kita sendiri yang harus menentukan jumlah penderitaan yang siap kita tanggung di ranjang kematian kita agar tetap utuh. , kesadaran bebas narkoba.

Apakah tidak mungkin bahwa para dokter, yang tidak menyadari perlunya menghadapi kematian dengan mata terbuka, menciptakan jenis penderitaan lain dengan upaya mereka yang bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit pasien? Sebagai pendukung penuaan dan kematian yang sadar, saya cenderung memberikan jawaban yang pasti untuk pertanyaan ini. Para menteri kedokteran, berdasarkan ide-ide materialistis, fokus pada apa yang dapat dilihat, dirasakan, dan diukur. Menimbang bahwa keberadaan pasien berakhir dengan kematian tubuh, para dokter kurang memperhatikan kematian dan kematian seperti itu - sebagai fenomena yang mempengaruhi inkarnasi masa depan. Oleh karena itu kita seperti orang tua yang bijaksana, mereka yang mencoba melihat diri mereka sendiri dari sudut pandang jiwa tidak dapat mempercayakan kesadaran mereka kepada para dokter pada saat-saat terakhir.

Keputusan paling bijaksana adalah meminum obat penghilang rasa sakit sendiri. Eksperimen menunjukkan bahwa pasien yang diizinkan untuk meminum obat pereda nyeri mereka sendiri mengonsumsi lebih sedikit obat pereda nyeri tetapi melaporkan lebih sedikit rasa sakit.

Studi terbaru di mana wanita dalam persalinan diizinkan untuk mengelola sendiri obat penghilang rasa sakit menemukan bahwa wanita ini mengambil sekitar setengah dari dosis biasa. Dua penjelasan ditemukan untuk ini: pertama, wanita yang melahirkan dapat menyesuaikan dosis sesuai dengan kebutuhan mereka, dan kedua, mereka jauh lebih sedikit takut akan rasa sakit, karena mereka tahu bahwa mereka dapat mengendalikannya. Saya tidak ragu bahwa jika penelitian yang sama dilakukan di antara orang yang sekarat, penurunan dosis obat juga akan dicatat.

Karena ada waktu yang signifikan antara timbulnya rasa sakit dan penerimaan obat penghilang rasa sakit, banyak orang sekarat yang saya kenal mengantisipasi timbulnya rasa sakit dan melebih-lebihkan intensitasnya - karena mereka sendiri tidak diberi kendali atasnya. Di beberapa rumah sakit Inggris, pasien diperbolehkan untuk meminum obat penghilang rasa sakit mereka sendiri, dan kita harus cukup bijaksana untuk menuntut otonomi sebanyak mungkin bagi diri kita sendiri di area ini. Mentransfer kekuatan atas kesadaran Anda kepada orang lain dalam proses kematian - terutama yang nilai filosofisnya mungkin sama sekali berbeda dari kita - adalah prospek yang menakutkan.

Tidak kalah pentingnya adalah pertanyaan apakah kita memiliki hak untuk secara mandiri memilih saat kematian kita. Kami saat ini tidak memiliki hak seperti itu. Jika kita ingin mati, kita harus pergi ke Dr. Kevorkian (54) atau kita akan mencoba untuk mendapatkan lebih banyak obat tidur dari dokter kita. Baik salah satu maupun jalan keluar lainnya tidak dapat dianggap memuaskan. Tanpa bermaksud menyinggung Dr. Kevorkian, saya harus tetap mencatat bahwa diskusi yang telah berlangsung di sekitar karyanya membawa ke publik apa yang seharusnya menjadi masalah pribadi seseorang, dan menarik perhatian kerabat pasien pada saat yang paling tidak tepat bagi mereka. Bukannya saya meremehkan kompleksitas masalah etika yang terlibat dalam debat hak untuk mati, tetapi bagi saya tampaknya hal itu mengabaikan hal yang paling penting: kebijaksanaan orang yang sekarat dan kemampuannya untuk membuat pilihan sadar. Dalam pekerjaan saya, saya telah menemukan bahwa orang yang sekarat cukup sadar dalam menilai keadaan tubuh dan pikiran mereka (kecuali ketika seseorang terlalu lemah untuk berpikir jernih, atau ketika dia pingsan karena kesakitan).

Merampas hak mereka untuk mati seperti yang mereka inginkan, kapan pun mereka mau, berarti menyangkal kebijaksanaan mereka atau menganggapnya tidak relevan. Dari sudut pandang materialistis, larangan seperti itu cukup masuk akal, tetapi dari sudut pandang spiritual, tampaknya sepenuhnya salah.

Hidup itu indah dan berharga, dan jika ditanya, saya pasti akan mendorong semua orang yang memiliki kesadaran sedikit pun untuk hidup selama mungkin. Tetapi, jika kebijaksanaan batin membutuhkan yang lain, suara ini harus diperhatikan. Semakin kita menyingkirkan kebijaksanaan kita yang dalam dengan menghilangkan gulma suara ego darinya, semakin siap kita untuk membuat keputusan itu jika kita harus membuatnya.

Tidak seperti masyarakat kita, dalam budaya seperti Tibet, hak seseorang untuk menentukan waktu keberangkatannya tidak pernah dipertanyakan. Secara tradisional, ketika lama tua di Tibet merasa bahwa waktunya telah tiba, mereka mengundang orang saat meninggalkan tubuh. Pada jam yang ditentukan, sang lhama, tenggelam dalam meditasi, menghentikan jantungnya dan berhenti bernapas. Dan apa itu bunuh diri? Sebuah tindakan tidak bermoral? Atau hanya mengetahui waktu perawatan? Terserah individu, bukan negara, untuk memutuskan.

Seseorang harus bertanya pada diri sendiri dengan tegas: apakah memperpanjang hidup dengan cara apa pun selalu merupakan keputusan yang paling bijaksana? Di usia tua, Thomas Jefferson (55) menulis kepada seorang teman yang juga berusia tujuh puluhan: “Waktunya akan tiba ketika, mengingat kondisi kita dan dengan memperhatikan orang-orang di sekitar kita, adalah bijaksana untuk pergi, memberi ruang untuk pertumbuhan baru. Kami telah menjalani usia kami dan tidak boleh menuntut yang lain.

Namun demikian, seperti yang dilaporkan Sherwin Naland, di negara kita seseorang tidak dapat meninggal karena usia tua: beberapa penyakit harus ditunjukkan sebagai penyebab pada sertifikat kematian. Betapa anehnya filosofi budaya kita untuk menjaga tubuh lama tetap hidup dengan segala cara masih mempertahankan penolakan implisit tentang kematian ini. Mengingat fakta pertumbuhan populasi dunia yang cepat dan menipisnya sumber daya alam yang terkait dengannya (belum lagi masalah keuangan dan kekurangan organ yang akut untuk transplantasi), kami memiliki keraguan besar tentang cara yang benar untuk memperpanjang hidup di luar usia yang wajar. dan kesejahteraan.

Sebelum stroke saya, saya berbicara di telepon setiap pagi dengan seorang pasien rumah sakit veteran berusia empat puluh lima tahun di Los Angeles, yang hanya saya kenal secara in absentia. Dia menderita kanker kulit yang menyebar ke seluruh tubuhnya, dan suatu hari istrinya menelepon saya dan mengatakan bahwa suaminya ingin berbicara dengan saya. Dia menggambarkan kondisinya: dia berbaring di tempat tidur, tidak bisa bergerak; dia sangat bengkak sehingga perawat secara teratur menusukkan jarum ke perutnya untuk mengalirkan cairan; semua bagian tubuhnya membengkak luar biasa: buah zakarnya sangat besar sehingga dia tidak bisa duduk di toilet. Dia bertanya kepada saya: "Ram Dass, jika saya memutuskan untuk mengakhiri semua ini, apakah itu akan menjadi kesalahan karma yang mengerikan?"

Apa yang bisa saya jawab untuknya? Pada saat-saat seperti itu, filsafat, dihadapkan pada realitas penderitaan besar, tidak berdaya. Haruskah saya memberi tahu orang ini tentang evolusi, tentang betapa pentingnya bagi jiwa untuk tinggal di dalam tubuh selama mungkin? Mungkinkah aku harus bersembunyi di balik kisah orang-orang suci seperti Ramana Maharshi, yang dengan tabah menanggung penderitaan demi murid-muridnya yang memujanya sampai hidupnya berakhir karena kanker tenggorokan? Pasien ini memiliki istri yang pengasih, dan saya dapat mengatakan bahwa dia perlu hidup untuknya, jadi saya akan menghindari tanggung jawab untuk mendorong pemikirannya tentang kematian. Atau, mengetahui bahwa semua hal yang belum selesai dalam kehidupan ini akan terbawa ke kehidupan berikutnya, apakah saya masih merekomendasikan agar dia meninggalkan tubuh? Apa pun yang saya katakan akan menjadi gangguan yang tidak pantas ke dalam kehidupan orang lain, tetapi pria ini membutuhkan jawaban. Saya mengatakan kepadanya untuk berbicara dengan hatinya. Keputusan apa yang dia buat, saya tidak tahu.

Tampaknya seseorang bahkan tidak ingin memikirkan kematian, tetapi di sini - untuk bersiap. Dibandingkan dengan ujian akhir, maka semua kehidupan adalah proses pembelajaran yang panjang, berjuang untuk itu dan tidak ada tempat lain. Yang belajar dengan baik sepanjang tahun tidak takut ujian. Sebaliknya pemalas dan bolos berusaha belajar dalam tiga hari terakhir, itupun hanya dalam proses pembuatan contekan.

Dengan kematian, nomor ini tidak berlalu. Sebaliknya, itu berlalu, tetapi sebagai pengecualian ekstrim. Ada contoh pertobatan sekarat yang dalam dan menyelamatkan, yang paling mencolok adalah tergantung di kayu salib di sebelah kanan Tuhan Yesus. Berharap untuk mengulang keajaiban seperti itu dalam hidup Anda adalah keberanian. Mukjizat seperti itu tidak direncanakan. Anda perlu bertobat hari ini. Hari ini kita perlu berpikir tentang kematian.

Orang percaya menganggap kematian bukan sebagai penghilangan, tetapi sebagai perubahan radikal dalam cara menjadi. Jika dikaitkan dengan penghilangan, maka orang harus setuju dengan pemikiran beberapa orang Yunani yang mengatakan bahwa selama kita ada, tidak ada kematian, dan ketika kematian ada, kita tidak ada lagi. Ini adalah lutut verbal yang agak elegan, dilemparkan ke belakang dengan cara para sofis. Tapi itu tidak hangat dan di kedalamannya mengandung kebohongan. Kita sangat akrab dengan kematian di sepanjang kehidupan duniawi.

Nenek moyang kita mendengar dari Tuhan bahwa dia akan “mati dengan kematian” jika dia makan dari pohon terlarang. Dia makan dan langsung mati. Secara fisik, dia meninggal sembilan ratus enam puluh tahun kemudian, tetapi dia langsung merasakan kematian. Matanya terbuka, dan dia mengenali ketelanjangannya, dan dengan itu rasa malunya. Dia kehilangan kasih karunia, takut akan Tuhan, merasakan kekosongan yang mengerikan di dalam dirinya. Dia mengalami lebih banyak kondisi mengerikan, yang diturunkan ke keturunannya dan di sana berlipat ganda. Seluruh sejarah umat manusia sejak saat itu telah menjadi pengalaman kumulatif dari kematian, pengalaman melawan kematian, pengalaman kalah dalam perjuangan melawannya. Dalam perjuangan ini, manusia dihangatkan oleh harapan bahwa Tuhan pada akhirnya akan campur tangan dalam sejarah dan mengalahkan maut dan dosa. Dan bahkan ketika harapan untuk ini telah lenyap dari sebagian besar jiwa, ketika Injil pertama dilupakan, orang-orang masih terus dihangatkan oleh perasaan keabadian pribadi.

Di mana ada orang, di situ ada. Dan di mana pun ada upacara pemakaman, pemikiran utama di dalamnya adalah pemikiran tentang melanjutkan kehidupan di luar kubur. Terkadang ada pemikiran kedua, yang lebih penting, yaitu pemikiran tentang kebangkitan di masa depan. Dia bisa mengekspresikan dirinya dengan sangat sederhana. Misalnya, dengan meletakkan almarhum dalam posisi bayi, dalam keadaan pingsan di mana kita menghabiskan periode intrauterin dan di mana beberapa orang suka tidur. Posisi tubuh ini, yang dikomunikasikan kepada almarhum, menarik kesejajaran antara rahim ibu, dari mana seseorang dilahirkan, dan bumi, rahim yang umum bagi semua orang, dari mana seseorang akan dibangkitkan.

Selain kesederhanaan ekstrem ini, kepercayaan akan kehidupan setelah kematian dapat ditumbuhi banyak ritual, katakanlah, ritual Mesir, dengan mumifikasi, ritual rumit, pengorbanan, dan sebagainya. Kami tidak akan menemukan satu orang pun yang tidak tahu ritual pemakaman dan tidak percaya pada kelanjutan kehidupan di luar kubur. Sejumlah besar literatur dikhususkan untuk masalah ini, tetapi penting bagi kita sekarang untuk memahami hanya satu pemikiran. Yaitu: dalam pengalaman manusia secara umum kematian tidak lain adalah perubahan dalam cara keberadaan, dan bukan penghentiannya sama sekali.

Bagaimana menerima kematian?

Ini sangat mirip dengan kelahiran. Perubahan yang lebih radikal dalam cara keberadaan daripada manusia hanya terlihat dalam transformasi ulat menjadi kupu-kupu. Sangat tidak estetis, merangkak perlahan, tidak menarik bagi siapa pun kecuali burung yang lapar, ulat itu secara ajaib berubah menjadi makhluk ringan yang berkibar, dicat dengan semua warna surga. Tapi bagaimana dengan manusia?

Orang di dalam rahim terbalik. Dia tidak bernafas dengan paru-paru. Tidak memberi makan melalui mulut. Seseorang menerima semua yang diperlukan dari tubuh ibu melalui tali pusar. Selain itu, seseorang benar-benar tenggelam dalam air. Dia sama sekali tidak mirip dengan "itu" sendiri, yang akan menjadi dia setelah beberapa waktu: diarahkan ke atas, melihat matahari, bergerak secara mandiri. Hanya keengganan untuk mengintip "keajaiban biasa" ini yang membuatnya menjadi kebiasaan di mata kita. Tetapi begitu Anda memikirkannya, Anda akan segera setuju bahwa ada lebih banyak kesamaan antara konsep "dilahirkan" dan "mati" daripada yang kita pikirkan.

Orang Kristen kuno menganggap hari kematian sebagai hari. Itu adalah transisi dari kehidupan yang lebih buruk ke kehidupan yang lebih baik, dan untuk berpikir dan merasakan seperti itu, seseorang harus memiliki pengalaman kekudusan yang sangat jelas. Musuh utama kematian tanpa rasa takut adalah dosa. Dosa memisahkan seseorang dari Tuhan dan menundukkan" memiliki kekuatan kematian, yaitu diav olu" (Ibr. 2:14). Namun, jika datang ke iman ditandai dengan pengalaman batin yang menyenangkan dari pengampunan dosa dan masuk ke dalam perayaan Paskah Abadi, maka ketakutan fana menghilang, digantikan oleh harapan pada Tuhan, cinta kepada-Nya dan keberanian.

Menyentuh kelahiran, Anda tidak bisa mengabaikannya. Ini adalah kelahiran sejati ke dalam hidup yang kekal, satu-satunya Misteri yang disebutkan dalam Syahadat. Tergesa-gesa, lalai, tanpa gemetar karena perayaan Sakramen ini, yang telah menjadi kebiasaan, telah sangat miskin kehidupan rohani kita. Era para martir besar, tiga setengah abad pertama sejarah Kristen, adalah masa-masa ketika orang Kristen mempersiapkan diri untuk waktu yang lama untuk menerima Pembaptisan dan dibaptis sebagai orang dewasa. Mereka menghadiri Liturgi, mendengarkan Kitab Suci dan pergi dengan kata-kata "Katekumen, keluarlah." Para uskup dan presbiter berbicara dengan mereka. Mereka belajar berdoa. Persiapan Sakramen yang intens dan tidak tergesa-gesa memunculkan, setelah pelaksanaan Sakramen itu sendiri, pada pengalaman batin yang mendalam. Justru pengalaman hidup dilahirkan kembali, pengalaman persekutuan dengan Kristus yang Bangkit, pengalaman memasuki kehidupan zaman yang akan datang. Ini sebagian menjelaskan perjuangan yang berani dengan dosa dan panjang sabar yang menakjubkan dalam penderitaan yang membuat Gereja pada abad-abad yang jauh itu terkenal.

Tetapi apa yang harus kita lakukan, mereka yang dibaptis di masa kanak-kanak, membutuhkan air mata pertobatan dan, selain mereka, tidak memiliki kelembaban lain yang memurnikan jiwa? Kita perlu dilahirkan kembali melalui pertobatan. Air mata tidak disebutkan secara kebetulan. Awal kehidupan duniawi seorang bayi, setelah pemisahannya dari organisme ibu, ditandai dengan tangisan yang menyedihkan. Dengan cara yang sama, jiwa menangis dan menangis, dilahirkan kembali, dengan cara yang sama, dengan tangisan dan air mata, lelah dengan kesia-siaan, ia merobek selubung dosa yang menempel pada dirinya sendiri. Kami sangat ingin menghabiskan hidup kami dalam tawa, sangat mencintai dengan kesenangan, apa pun, untuk alasan apa pun, sehingga kata-kata dari doa Chrysostom akan terdengar seperti guntur bagi kami: "Beri aku, Tuhan, air mata, ingatan fana, dan kelembutan." Kami juga akan meminta air mata dan memori kematian kepada Tuhan dalam doa, sehingga pada hari yang tidak diketahui dan gentar kami akan menemukan bagi diri kami sendiri Tuhan yang berbelas kasih.

Pintu gerbang dan jalan menuju hidup yang kekal itu sempit. Anda tidak dapat dengan bebas memasukinya, tetapi Anda hanya dapat menembusnya. Ini juga merupakan gambaran yang sangat mirip dengan kelahiran. Ketika seorang anak lahir, apa lagi yang dilakukannya, jika tidak terjepit, tidak bertambah dengan rasa sakit dan penderitaan menjadi dua, keluar dan menemukan kebebasan?

Pertobatan adalah mati, mati terhadap dosa dan bangkit kembali kepada Tuhan. " Demikian juga, anggaplah dirimu telah mati terhadap dosa, tetapi hidup bagi Allah di dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”(Rm. 6:11) ini dilakukan sekali seumur hidup melalui Pembaptisan, dan kemudian semua kehidupan berlanjut melalui pemenuhan perintah-perintah dan perjuangan melawan hawa nafsu.

Saya banyak berpikir tentang arti kata yang utama dan dalam. Jadi kata “seni” dihubungkan dengan konsep “godaan” atau “ujian”. Siapa pun yang telah "diuji" berkali-kali dalam bisnis apa pun sudah "tergoda", keterampilan praktisnya dapat disebut kata "seni". Seni adalah keterampilan, dan itu membutuhkan pengalaman, pengulangan yang sering. Kita mati hanya sekali; kita kehilangan pengalaman kematian yang sering terjadi, yang berarti kita ditakdirkan untuk kematian yang "tidak terampil". Kematian kita pasti canggung, sama seperti pancake pertama yang harus keluar kental. Ada wawasan yang benar dalam semua refleksi ini. Entah bagaimana, pemikiran berikut muncul dengan sendirinya: Anda perlu belajar cara mati, Anda perlu menemukan cara untuk mempersiapkan diri dengan baik untuk peristiwa terpenting dalam perjalanan duniawi Anda.

Dia menulis dalam buku hariannya yang terkenal bahwa kehidupan Kristen yang sejati adalah pengalaman mati terhadap dosa dan mempersiapkan diri untuk kekekalan. Sangat menarik bahwa Plato berbicara dalam istilah yang kurang lebih sama tentang tujuan filsafat sejati. “Dia mengajari kita untuk mati,” kata Plato, merujuk pada pemutusan hubungan duniawi dan kematian pada kesombongan, yang merupakan ciri khas filsafat sejati.

Apa yang diramalkan oleh orang-orang bijak zaman dahulu telah diubah menjadi kehidupan dan tindakan nyata oleh orang-orang kudus Kristen. Untuk mati para biarawan meninggalkan kota dan menetap di belantara hutan atau gurun kering. Kehidupan mereka, tanpa kesenangan duniawi dan dimengerti, tampaknya tidak lain adalah kematian bagi orang duniawi. Orang biasa lebih suka mati dengan kematian yang sama dan nyata daripada hidup seperti biksu dan menderita. Tetapi kehidupan yang aneh ini, monastisisme, yaitu, kematian sukarela sebelum permulaan yang tidak diketahui dan tak terelakkan itu.

Para ayah menyarankan untuk memperlakukan banyak peristiwa kehidupan sehari-hari seolah-olah orang tersebut sudah meninggal. Misalnya, betapa matinya Anda perlu belajar menanggapi pujian dan caci maki.

Dan Anda perlu belajar meratapi dosa-dosa Anda seolah-olah Anda memiliki orang mati di rumah Anda.

Juga akan menyenangkan untuk memperlakukan segala macam desas-desus dan gosip, semua hiasan informasi dengan perhatian orang mati yang terkubur.

Ini semua tinggi. Sangat tinggi sehingga tampaknya di luar jangkauan. Saya tahu. Saya setuju. Tetapi membaca cerita-cerita dan ucapan-ucapan dari kehidupan para bapa agung padang pasir dengan cara tertentu menyembuhkan jiwa dan menanamkan di dalamnya pikiran-pikiran surgawi. Tanpa pergi ke biara, tanpa berhenti tinggal di gedung tinggi dan mengunjungi supermarket, kita masih memiliki tugas yang sama seperti semua orang Kristen zaman dahulu: untuk memenuhi perintah. Pemenuhan perintah harus mematikan dosa dan menghidupkan roh. " Jika Kristus ada di dalam kamu, maka daging mati terhadap dosa, tetapi roh hidup bagi Tuhan' kata Santo Paulus. Dan dia juga mengatakan: Jangan biarkan dosa berkuasa dalam dagingmu yang mati» Paulus memiliki banyak kata serupa yang dibangun di atas antitesis dari kematian dan kehidupan, kematian terhadap dosa dan kehidupan bagi Tuhan.

Anda dapat memikirkan kematian dengan senyuman, sementara napasnya yang dingin tidak menggerakkan rambut di pelipis Anda. John Lennon dikatakan telah tidur di peti mati ketika dia masih muda. Tentu saja, bukan karena dia meniru, tetapi karena dia bodoh. Selama tahun-tahun ini, dia dan Beatles lainnya mengatakan bahwa mereka akan melampaui popularitas Tuhan Yesus Kristus (!?) Tetapi di tahun-tahun terakhir hidupnya, dia sangat takut mati, menghindari membicarakannya dan tidur dengan listrik menyala. Ini adalah kebenaran yang instruktif dan pahit. Dan lelaki tua dari dongeng itu, yang lelah mengangkut kayu bakar, yang ingat bahwa seluruh hidupnya telah dihabiskan dalam kelaparan dan kerja, berdoa agar kematian akan datang. Tetapi begitu dia datang ke teleponnya, dia tidak bingung dan berkata: "Bantu saya membawa kayu bakar ke rumah." Kami tidak ingin bercanda tentang kematian sebelumnya. Kita tidak boleh menertawakannya selama dosa dan nafsu masih hidup dalam diri kita. Tetapi kita harus memikirkan kemunculannya yang tak terelakkan dan tak terelakkan dan berdoa untuk penganugerahan "kematian Kristen, tanpa rasa sakit, tak tahu malu, damai." Petisi ini diucapkan di Vesper, di Matins, dan di Liturgi.

Kristus menangisi kubur itu. Ini adalah air mata gemetar dari Manusia yang tidak berdosa, saat melihat kemalangan dan rasa malu yang menimpa anak-anak Adam dalam kematian. Pengalaman Lazarus tetap tidak terkatakan bagi kita, karena tidak ada kata yang sesuai dalam kamus manusia untuk menggambarkan baik Lazar tinggal di neraka dan Paulus tinggal di surga. (Lihat 2 Kor. 12:4) Tetapi air mata manusia-Tuhan itu seharusnya lebih mendidik daripada kata-kata apa pun.

Menangis di atas peti mati bukanlah hal yang memalukan. Menangis dan larutkan kesedihan dengan doa dan sedekah. Salah satu ayah gurun berkata bahwa jika kita mendengar tentang mendekatnya kematian salah satu saudara, kita harus bergegas kepadanya. Pertama, untuk menguatkan orang yang akan pergi dengan doa di menit-menit atau jam-jam terakhir perjuangan. Dan kedua, untuk merasakan dengan hati misteri besar ini - pemisahan jiwa dari tubuh. Hati akan merasakan lebih dari yang dilihat mata dan didengar telinga. Seseorang akan bergembira, merasakan takut akan Tuhan, menghilangkan rasa putus asa dan kurang beriman. Karena " debu akan kembali ke bumi seperti semula; dan ruh akan kembali kepada Tuhan yang memberikannya» (Pkh. 12:7)

Saat-saat ketika kematian sudah jauh dan bukan tontonan sehari-hari adalah saat-saat pesta pora yang tidak pernah terdengar. Ini sebelum Air Bah, ketika itu " besar kerusakan manusia di bumi, dan semua pikiran dan pikiran hati mereka selalu jahat(Kej. 6:5) Tetapi zaman kita, zaman kelemahan manusia yang berlipat ganda, kadang-kadang menekan hati dengan melodi dan syair upacara pemakaman. Ini akan bernilai belajar dengan hati, dan, untuk semua orang. Ini adalah ajaran Gereja, diungkapkan melalui puisi tinggi. Stichera yang disuarakan sendiri oleh John dari Damaskus, troparia untuk "Terpujilah, ya Tuhan," ya, secara umum, seluruh upacara pemakaman adalah "bip isak" yang mengajarkan iman dan menyembuhkan jiwa. Doa-doa ini benar-benar dapat dihayati. Nenek Ortodoks "klasik", kecuali "Bapa", "Perawan Maria" dan "Aku Percaya", yang hafal upacara peringatan, adalah pemilik pengetahuan agama yang paling penting.

Detail penting: dalam upacara pemakaman sering ada referensi tentang para martir. Darah mereka yang menderita demi Nama Kristus adalah warna ungu kerajaan Gereja. Kristus mencurahkan darah-Nya untuk umat manusia. Para martir menumpahkan darah mereka bagi Kristus. Dalam pertumpahan darah timbal balik ini, Tuhan dan para martir memasuki kesatuan yang misterius dan tak terpisahkan. Tidak jarang, orang-orang yang memutuskan untuk menderita segala jenis penderitaan bagi Kristus melihat Dia. Dia menampakkan diri kepada mereka, menguatkan dan memberi semangat. Oleh karena itu, kata "martir" dalam bahasa Yunani terdengar seperti "martiros" dan tidak hanya berarti penderita, tetapi juga saksi. Martir tidak hanya percaya. Dia sudah melihat. Realitas orang lain, kehidupan masa depan terbuka untuk pandangan batinnya, dan martir menyatakan kepada kita tentang keabadian dan realitas spiritual lebih dari teolog mana pun. Artinya, pemujaan terhadap para penderita Kristus mampu menyemangati jiwa kita yang ketakutan dan lelah. Sebelum kita melanjutkan ke ke Gunung Sion, dan ke kota Allah yang Hidup, ke Yerusalem surgawi, dan ke sepuluh ribu malaikat; kepada dewan kemenangan dan gereja anak sulung, yang tertulis di surga, dan kepada Hakim segala Allah, dan kepada roh orang benar yang telah mencapai kesempurnaan ”(Ibr. 12:22-23), kita akan sering menyebut dalam doa nama-nama orang benar yang telah mencapai kesempurnaan ini.

Tapi yang paling penting, tentu saja, adalah ini. Sukacita malam Paskah justru sukacita kemenangan atas "musuh terakhir", seperti yang tertulis: " Musuh terakhir yang harus dihancurkan adalah kematian."(1 Kor. 15:26) Teks kanon Paskah secara harfiah dipenuhi dengan ekspresi kegembiraan tentang kemenangan atas kematian. -" Kematian kita merayakan matiraga, kehancuran neraka, kehidupan lain dari awal yang kekal, dan, bermain dengan yang Bersalah bernyanyi "

- "Kebaikanmu yang tak terukur dengan ikatan neraka dari konten melihat, pergi ke cahaya, Kristus, dengan kaki gembira, memuji Paskah yang kekal"

“Kemarin aku menyalibkan diriku bersama-Mu, ya Kristus; hari ini aku bangkit, aku membangkitkan-Mu. Aku menyalibkanmu kemarin, memuliakan diriku sendiri, Juruselamat, di kerajaanmu.

Arti dari troparion terakhir sangat penting. Dia berkata bahwa agar natur kita merasakan kemenangan Kristus atas kematian, kita perlu mengambil bagian dalam penderitaan Kristus. Penderitaan diri yang sabar, jangka panjang dan jujur ​​di hadapan Wajah Tuhan selama Prapaskah, pada Paskah, akan dimahkotai dengan pembaruan dan pembersihan yang menyenangkan. Pengalaman yang diberkati dalam mengalami Paskah Kristus adalah apa yang paling kita butuhkan, perjuangkan dalam kehidupan abad berikutnya.

Banyak baris mazmur, yang dikenal dengan huruf, mengungkapkan makna rahasianya di dalamnya. "Masa mudamu akan memperbarui dirinya seperti rajawali", "Lidahku akan bersukacita dalam kebenaran-Mu", "Semua tulangku akan berkata: Tuhan, Tuhan, siapa yang seperti Engkau?", "Tulang-tulang yang rendah hati akan bersukacita", dll. Sungguh, lidah bersukacita, mengatakan, "Kristus telah bangkit!" Dan setiap tulang tahu bahwa sejak Kristus dibangkitkan, akan ada hari ketika firman akan berbunyi: “ tulang kering! Dengarkan firman Tuhan! … Lihatlah, Aku akan membawa roh ke dalam dirimu dan kamu akan hidup» (Yeh. 37:4)

Katekumen John Chrysostom juga menyebutkan perubahan sikap terhadap kematian. Orang suci itu mendesak untuk tidak menangis tentang kemelaratan, karena "kerajaan umum melayang" untuk tidak berkecil hati karena dosa, karena "pengampunan bersinar dari kubur"; dan jangan takut mati, "bagi kami kematian Spasov membebaskan kami"

Jadi, di Paskah kita memiliki obat untuk semua penyakit. Dan jika, seperti yang ditulis oleh Metropolitan Hierofey (Vlachos), kita terus menangis, kehilangan hati dan ketakutan, maka ini berarti bahwa cahaya Kebangkitan Kristus belum menerangi seluruh sudut jiwa kita.

Pada saat yang sama, satu Paskah setahun tidak cukup untuk hidup dengan terangnya sampai tahun berikutnya. Angin akan meniup pelita iman, atau minyaknya akan habis. Agar Paskah menjadi pusat pembentuk makna kehidupan Kristen, Gereja merayakannya setiap minggu, lima puluh dua kali setahun. Setiap hari Minggu adalah Paskah kecil. Ini dibuktikan dengan pembacaan teks-teks Injil yang sesuai di pagi hari, himne hari Minggu setelah Injil, dan semua kekayaan Oktoech. Kita harus berkumpul untuk kebaktian hari Minggu persis seperti untuk perayaan kemenangan atas kematian, dengan cinta dan rasa terima kasih kepada Sang Penakluk-Yesus, yang secara tak terlihat dibawa oleh barisan malaikat pada Sakramen Ekaristi.

Kematian jelas menghancurkan segalanya dan menaklukkan segalanya. Di antara mereka yang dikalahkan olehnya adalah kekuatan, kebijaksanaan, kecantikan, bakat, kesuksesan, pengetahuan. Berbicara jujur, Anda dapat hidup, atau tidak memikirkan kematian, atau memiliki obat untuk itu. Ada obat seperti itu. Martir Suci Ignatius, yang dijuluki pembawa Tuhan, sedang dalam perjalanan ke Roma di bawah pengawalan untuk menerima kematian bagi Kristus di gigi binatang buas di arena sirkus. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan perwakilan Gereja, menulis surat kepada komunitas. Dalam salah satu suratnya, ia berbicara tentang Ekaristi, dan menyebutnya "obat keabadian". Tubuh dan Darah sejati dari Yesus Kristus yang telah bangkit dari kematian, yang kita terima di Liturgi, adalah obat yang menyatukan sifat fana kita dengan Tuhan Yang Kekal. Anda harus sering menerima komuni. Tetapi sangat penting untuk mengambil makanan abadi sebelum kematian. Nabi Elia, setelah kemenangan atas para imam Baal, sangat lelah dengan jiwanya sehingga dia meminta kematian. (1 Raja 19:4-9) Saat ia tertidur di bawah semak juniper, seorang malaikat menyentuhnya dan memerintahkannya untuk makan dan minum. Nabi memakan kue yang dipersembahkan dan meminum airnya. Munculnya Malaikat itu terulang kembali, dan lagi-lagi sang nabi makan dan minum. Dan kemudian dia menerima perintah untuk pergi ke pertemuan dengan Tuhan ke Gunung Horeb dan berjalan tanpa henti selama empat puluh (!) hari dan malam.

Kita juga memiliki perjalanan panjang menuju takhta Tuhan. Kita juga perlu diberi makan dengan makanan khusus demi perjalanan ini - Tubuh dan Darah Tuhan.

Dia bukan tembok, kematian. Dia adalah pintunya. Sebaliknya, pintu itu adalah Kristus, yang berkata: siapa pun yang masuk melalui saya akan diselamatkan, dan akan masuk dan keluar, dan menemukan padang rumput(Yohanes 10:9) Kristus mati untuk dosa-dosa kita dan bangkit kembali untuk pembenaran kita. Sekarang, berkat kematian penebusan-Nya, di dalam Dia dan melalui Dia kita, melalui gerbang kematian, akan masuk ke dalam kehidupan lain. Mari kita masuk, mari kita pergi ke sana dalam keluasan dan kebebasan, dan, seperti domba-domba Kristus, kita akan menemukan padang rumput yang kaya.

Tetapi Anda perlu memikirkannya dengan serius sepanjang hidup Anda, dan tidak pada akhirnya, seperti pecundang sebelum ujian.

Memo untuk yang sekarat, orang yang dicintainya dan semua yang akan mati:

Apa itu kematian?
- Mengapa dibutuhkan?
Apa saja tahapan kematian?
bagaimana mempersiapkan kematian
- apa yang harus dilakukan pada saat kematian dan setelah kematian tubuh.

Weda dan berbagai agama menyatakan bahwa kematian bukanlah akhir dari keberadaan, tetapi hanya ditinggalkannya tubuh fisik yang kasar oleh jiwa yang tidak dapat lagi melakukan fungsi vital yang penting. , yaitu, kesadaran individu, yang ada di dalam tubuh, tidak bergantung pada keadaan tubuh, tetapi mengalami semua sensasi tubuh dan mental.

Tubuh bersifat sementara, dan masa hidupnya, menurut Veda, ditentukan bahkan pada saat pembuahan. Masa ini tidak dapat diubah oleh kehendak manusia, tetapi dapat diubah oleh Tuhan, yang menjadi penyebab segala sesuatu. Ada banyak kasus ketika doa yang tulus menghidupkan kembali orang yang sekarat dengan ramalan yang paling pesimistis, dan bahkan "dari dunia berikutnya".

Jiwa, tidak seperti tubuh, adalah abadi: ia tidak dapat mati, meskipun proses berpisah dengan tubuh dapat dianggap sebagai kematiannya sendiri. Hal ini disebabkan oleh identifikasi yang kuat dengan tubuh fisik dan kurangnya kesadaran diri sebagai jiwa (kesadaran). Oleh karena itu, selama hidup, seseorang harus menerima pengetahuan tentang sifat spiritualnya dan terlibat dalam memahami esensi tak berwujud yang sebenarnya - ini akan membantunya pada saat berpisah dengan cangkang fisik fana, yang telah menjadi tidak cocok untuk kehidupan di dunia ini. Pada saat kematian, seseorang dapat mengubah banyak nasibnya di masa depan jika dia tahu apa yang harus dilakukan. Kami akan membicarakan ini.

Apa itu kematian dan mengapa itu dibutuhkan

Sama seperti seseorang mengganti kain lama dengan pakaian baru, demikian pula jiwa menerima tubuh material baru untuk menggantikan yang lama dan tidak berguna. Proses ini disebut dalam reinkarnasi Veda - reinkarnasi dari kesadaran individu (jiwa).

Dunia materi tempat kita hidup adalah jenis sekolah yang memiliki tujuan yang sangat spesifik. Sekolah ini membawa semua orang melalui semua kelas yang diperlukan - hingga ujian terakhir dan penyelesaian pelatihan yang berhasil. Terkadang kita menginjak penggaruk yang sama, tetapi pada akhirnya kita belajar pelajaran, menarik kesimpulan yang tepat dan melanjutkan. Tuhan dapat disebut sebagai guru utama atau direktur sekolah ini, yang kepadanya semua orang dan keadaan yang mengajari kita sesuatu dalam hidup, secara eksplisit atau implisit, dipatuhi. Seluruh hidup kita, pada kenyataannya, belajar, dan kematian adalah ujian terakhir. Jadi, kehidupan demi kehidupan, kita menerima tubuh baru dan pelatihan yang sesuai yang diperlukan untuk akhirnya memahami arti sebenarnya dari kehidupan dan kembali ke dunia spiritual asli kita (rumah bagi Tuhan), di mana tidak ada kelahiran dan kematian, usia tua dan penyakit. , di mana ada kebahagiaan abadi, cinta dan kesadaran berkuasa.

Bagaimana kita masuk ke dunia ini dan mengapa kita menderita

Saat mendistribusikan materi situs, harap cantumkan tautan ke sumbernya.